Dark/Light Mode

Seminar Nasional Agama Dan Negara

Mahfud: Agama Jadi Sumber Nilai Penyelenggaraan Negara Di Indonesia

Rabu, 1 Mei 2024 15:50 WIB
Pakar hukum tata negara yang juga mantan Menko Polhukam Mahfud MD memberi pidato kunci dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer di kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Selasa (30/4/2025). Foto: Istimewa
Pakar hukum tata negara yang juga mantan Menko Polhukam Mahfud MD memberi pidato kunci dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer di kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Selasa (30/4/2025). Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Pakar hukum tata negara yang juga Menko Polhukam, Mahfud MD mengatakan, bagi Indonesia relasi agama dan negara sebenarnya sudah selesai secara tuntas.

Bahkan, konsep dan konstruksi kita sudah pula diputuskan pendiri-pendiri bangsa kalau Indonesia merupakan negara beragama.

Artinya, Mahfud menegaskan, sudah diputuskan Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama. Kalau negara agama, agama jadi pedoman formal, sedangkan negara beragama, agama diakui dan nilai-nilai kemuliaan masuk dalam kehidupan bernegara.

"Indonesia itu bukan negara agama, tapi agama yang menjadi sumber-sumber nilai penyelenggaraan negara," kata Mahfud dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII) dan MMD Initiative di Kampus Terpadu UII, Selasa (30/4/2024).

Mahfud turut membicarakan Piagam Madinah dan Proklamasi yang bunyinya saja sudah senada. Karenanya, ia menyampaikan pujian kepada pendiri-pendiri bangsa yang mampu merumuskan Proklamasi dengan begitu indahnya sebagai dasar negara.

Baca juga : Ini Alasan Mahfud Tak Hadiri Acara Penetapan Presiden Dan Wakil Presiden Di KPU

"Piagam Madinah itu seperti Proklamasi bunyinya. Makanya, itu hebat yang bikin Proklamasi, itu seperti Piagam Madinah yang dibahasakan Indonesia," ujar Mahfud.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Masykuri Abdillah mengatakan, hubungan antara agama dan negara di Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara Eropa. Ia mengingatkan, Indonesia menghargai dan mengakui enam agama dengan masing-masing hari liburnya.

Pun soal pendirian rumah ibadah yang ia rasa Indonesia masih jauh lebih baik dibanding negara-negara di Eropa atau Amerika sekalipun. Walau fakta lapangan menunjukkan ada tantangan-tantangan, tapi tidak mempengaruhi kerukunan antar umat yang terjaga.

"Sementara, di Eropa itu sulit, di Amerika juga sulit, saya pernah meneliti juga soal ini. Misalnya, di Italia, penduduk Muslim hampir dua juta, tapi masjid hanya ada delapan," kata Masykuri.

Guru Besar UKDW Yogyakarta, Tabita Kartika melihat, secara kemitraan agama dan negara dapat bekerja sama. Termasuk, menjawab persoalan demokrasi, HAM dan hukum kontemporer.

Baca juga : Pj Gubernur Jateng Utamakan Pencegahan dan Pengembangan Teknologi Penanganan Bencana

Selain itu, ia merasa, kehadiran agama memberi kritik yang membangun kepada negara. Karenanya, keberadaan agama tidak cuma penting tapi menjadi sangat vital bagi negara.

"Untuk mengingatkan pentingnya menegakkan etika, kebenaran dan keadilan, tanpa diskriminasi dalam negara hukum," ujar Tabita.

Terkait agama dan negara, penulis, Hamid Basyaib merasa, ada banyak asumsi yang salah atau setidaknya bisa dipertanyakan. Sebab, ia menilai, masyarakat kita seakan hanya menumpuk sumber etika itu hanya kepada agama atau orang suci di agama.

Hamid melihat, itu semua dikarenakan masyarakat kita belum bisa menemukan sumber-sumber lain yang lebih meyakinkan. Ia berharap, nantinya akan ditemukan sumber-sumber lain yang bisa berargumen berdasarkan neuro-science.

"Jadi, humanisme yang betul-betul scientific. Selama ini kan tidak ada yang scientific, semua hanya emosi moralistik saja, subyektivitas moral, bukan sesuatu yang ilmiah," kata Hamid.

Baca juga : Presiden Jokowi Dan Kyai Maruf Amin Jadi Saksi Pernikahan Putri Bamsoet

Pemikir kebhinnekaan lulusan Universitas Harvard, Sukidi mengingatkan, ada sindrom konstitusi Jerman yang didesain secara indah, secara bagus dan secara luar biasa. Tapi, akhirnya tidak kuasa untuk menghadapi fasisme dan nazisme yang ada kala itu.

"Saya khawatir konstitusi, Undang-Undang, Ketetapan MPR dan lain-lain akhirnya tinggal sehelai kertas, kertas mati yang tidak memiliki kekuatan untuk merubah masyarakat dan penyelenggara negara," ujar Sukidi.

Sukidi berpendapat, kondisi itu merupakan alarm terbesar bagi bangsa Indonesia karena membuat batas-batas baik dan buruk atau benar dan salah itu semuanya jadi remang. Sebab, semua kebenaran cuma akan tergantung kepada kekuasaan.

"Pak Mahfud pernah berpesan kepada saya jika penyalahgunaan kekuasaan dibenarkan, akhirnya ini memberikan satu preseden, akhirnya kekuasaan yang menentukan segalanya, dia yang menentukan kekuatan kekuasaan dan uang itu sendiri," kata Sukidi.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.