Dark/Light Mode

Pasca Putusan Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Muncul Lagi

Minggu, 6 Juli 2025 07:30 WIB
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Jazilul Fawaid. (Foto: Dok. Rakyat Merdeka/RM.id)
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Jazilul Fawaid. (Foto: Dok. Rakyat Merdeka/RM.id)

RM.id  Rakyat Merdeka - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu nasional dan lokal merembet ke mana-mana. Bahkan, wacana kepala daerah dipilih DPRD, yang sudah lama terkubur pun, muncul lagi.

Adalah Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Jazilul Fawaid alias Gus Jazil yang mengusulkankepala daerah dipilih oleh ang­gota DPRD. Dia menjelaskan, dalam Pasal 22E UUD tentang Pemilu, Pemilu hanya mencakup pilpres, pileg DPR, hingga pileg DPRD.

"Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22, itu me­milih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD tingkat II," ujar Gus Jazil, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Sebenarnya, kata Jazil, Pemilu yang dimaksud dalam rezim Pemilu di dalam UUD 1945 ti­dak ada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Karena itu, kata dia, jika Mahkamah Konstitusi (MK) mendalilkan pemisahan Pemilu nasional dan lokal karena terjadi kejenuhan, kelelahan dan tidak fokus, lebih baik kepala daerah dipilih oleh DPRD saja.

"Anggota DPRD tingkat II se­bagai representasi, sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyatnya di tingkat II. Sehingga, mereka bisa menentukan siapa bupatinya. Dan itu lebih mudah," jelas Jazil.

Baca juga : Cari KMP Tunu, Kapal Sonar Dan Penyelam Dikerahkan

Jazil mengatakan, berdasarkan aturan yang ada, kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan secara langsung seperti Presiden. Maka dari itu, kata Jazil, kepala daerah sudah seharusnya dipilih oleh anggota DPRD.

"PKB sempat mengusulkan, dan kami juga akan usulkan nan­ti kalau ada revisi (UU Pemilu). Semestinya, diputuskan MK enggak apa-apa. Bahwa untuk Pilkada dilakukan secara seren­tak dipilih oleh anggota DPRD, itu lebih bagus," katanya.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Amanat Nasionl (PAN) Eddy Soeparno mengakui banyak permasalahan atas kepu­tusan MK tentang pemisahan Pemilu nasional dengan lokal. Di antaranya, potensi Pemilu tidak langsung dalam memilih kepala daerah.

“Saya belum bisa memvonis apakah ini kemunduran demokrasi atau tidak, karena kita tengah melakukan kajian inter­nal,” kata Eddy, kepada Rakyat Merdeka, Sabtu (5/7/2025).

Eddy mengungkapkan, par­tainya melakukan evaluasi ten­tang dampak putusan MK. Kata dia, berbagai macam dikupas tuntas, mulai dari sistem dan mekanisme Pemilu dan Pilkada terbaik ke depannya untuk di­tuangkan ke dalam revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

Baca juga : Wujudkan Swasembada Energi, Kemendes Dukung Langkah Cepat Bahlil

"Perlu diskusi mendalam di antara partai-partai politik untuk menyikapi perubahan-perubahan akibat putusan MK. Termasuk soal potensi Pilkada tidak langsung alias dipilih oleh DPRD sebagai dampak dinamika regulasi ini," ujarnya.

Wakil Ketua MPR ini tidak menampik, masyarakat yang telah mendapatkan kedaulatan atas Pemilu langsung, akan menolak jika kedaulatannya disalurkan melalui wakilnya di parlemen.

“Sekalipun, ⁠kembali ke sistem pemilihan melalui perwakilan sesungguhnya amanat dari Mukadimah UUD 1945 dalam konteks permusyawaratan per­wakilan,” ungkapnya.

Eddy berharap, perubahan atas sistem Pemilu atau pemilihan pejabat publik secara langsung harus menguatkan demokrasi, dan tidak mengerdil­kannya. Apalagi, kata dia, saat ini demokrasi di Indonesia sarat dengan money poltics sebagai jalan pintas menduduki jabatan publik.

Politik transaksional, menurut Eddy, merupakan kelemahan besar dalam demokrasi di Tanah Air saat ini. Dia menegaskan, pemberi maupun penerima hadiah untuk memilih dan ter­pilih dalam kontestasi publik, memikul kesalahan dan turut bertanggung jawab atas ekses negatif dari sistem pemilihan langsung.

Baca juga : Wagub Sulawesi Selatan Dirayu Gabung Gerindra

“Misalnya, tingginya biaya politik, maraknya dinasti politik, dan korupsi,” beber Eddy.

Selain itu, Eddy juga meni­lai, putusan MK tidak sejalan dengan putusan sebelumnya yang menegaskan pelaksanaan Pemilu di semua tingkat dalam tahun yang sama. Sementara, kata dia, dalam putusan teranyar, MK justru memandatkan pemili­han lokal dijeda dari nasional hingga dua tahun.

“⁠Kepala daerah dan Anggota DPRD mendapatkan mandat untuk menjabat selama 5 tahun dan tidak lebih. Penambahan masa jabatan ini perlu ada landasan hukumnya. Jika tidak, kita akan memiliki pejabat pub­lik yang kebijakan dan keputu­sannya inkonstitusional,” tutup Eddy. 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.