Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Harga Minyak Dunia Sudah Anjlok
Kapan Harga BBM Dalam Negeri Ikutan Turun Nih...
Kamis, 19 Maret 2020 06:13 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Pemerintah diminta segera menyesuaikan harga BBM, baik subsidi maupun nonsubsidi. Menyusul penurunan harga minyak dunia untuk membantu sektor riil menghadapi krisis ekonomi akibat dampak virus corona (Covid-19).
Hal ini dinyatakan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono. Harga energi, tegas Bambang, khususnya bahan bakar minyak, harus segera disesuaikan dan ditetapkan secara transparan.
“Selama ini, biaya logistik Indonesia tinggi. Salah satu penyebab adalah tidak ada transparansi harga BBM. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan harga barang menjadi lebih mahal,” katanya.
Menurut Bambang, sektor riil saat ini semestinya menikmati harga energi yang lebih murah. Seiring merosotnya harga minyak dunia hingga di atas 50 persen, menjadi di bawah 30 dollar AS per barel.
“Seharusnya harga BBM turun, baik yang subsidi maupun nonsubsidi. Dalam ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini akibat Covid-19, harga energi yang murah bisa menjadi stimulus sektor riil supaya ekonomi bergerak,” kata anggota DPRRI periode 2014-2019 ini.
Baca juga : Minyak Dunia Anjlok, Jokowi Minta Harga BBM Dihitung Ulang
Dia juga mendesak pemerintah tidak memaksakan lagi penggunaan biosolar B30 dengan dalih untuk menurunkan biaya impor yang signifikan. Apalagi, ketika harga BBM lebih murah. Selain tidak signifikan memangkas impor migas, B30 justru dapat menghambat logistik dan membahayakan keselamatan transportasi.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), papar Bambang, impor migas senilai 29,81 miliar dollar AS dibanding total impor non migas yang tercatat 158 miliar dollar AS itu kurang dari 20 persen. Yakni sekitar 18 persen.
Sehingga, porsi impor solar terhadap impor total migas dan non migas hanya 1,6 persen. Padahal, jumlah substitusi impor bahan bakar solar dibanding kelapa sawit hanya 30 persen dari 1,6 persen atau sekitar 0,5 persen dari total biaya impor migas dan non migas. Berarti dampak biodiesel untuk penghematan biaya devisa impor sangat kecil.
“Sektor transportasi sendiri hanya menggunakan sekitar 50 persen dari impor solar itu. Berarti nilainya lebih kecil lagi. Sehingga tidak signifikan mengurangi impor migas untuk menghemat devisa,” jelas Bambang.
Dia mengingatkan Presiden agar mengecek kembali informasi yang disampaikan para pembantunya. Bahwa B30 bisa mengurangi impor secara signifikan dan menghemat devisa hingga Rp 63 triliun.
Baca juga : Warga Nanya, Iuran BPJS Kapan Turunnya Yah..?
“Presiden harus tahu dampak buruk B30 terhadap sektor transportasi dan industri. Jangan mau menerima begitu saja informasi. Bahwa B30 mengurangi impor migas dan menghemat devisa,” ujarnya.
Hingga kini, negara-negara lain yang menerapkan biosolar masih di bawah B10. Seperti Argentina dan China maksimal B7. Bahkan Malaysia, Australia dan Kanada hanya menerapkan B5. Mereka mampu memproduksi B30. Tapi tidak gegabah. Karena B30 sangat rentan menyebabkan kerusakan mesin alat transportasi.
“Muncul viskositas lebih dan slag yang tinggi, nozel dan filter injector mesin menjadi cepat rusak. Sehingga mesin dapat gagal berfungsi. Kapal mogok di tengah laut akibat mesin mati bisa mengakibatkan perubahan stabilitas negatif dan berujung tenggelam. Kejadian ini pernah dialami KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006,” ungkap mantan senior investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Karena itu, Ketua Dewan Pembina Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) ini menolak mandatory B30 untuk sektor transportasi. Bila dipaksakan, akan terjadi kerusakan alat transportasi secara massal. Sehingga angkutan publik dan logistik lumpuh serta marak kecelakaan. Ekonomi nasional pun semakin terpuruk.
“Pemerintah jangan mengobankan sektor transportasi dan ekonomi nasional, bahkan nyawa publik, untuk mengakomodasi kepentingan konglomerat kelapa sawit. Dengan tidak realistis meningkatkan kandungan biodiesel pada solar menjadi di atas 30 persen bahkan 100 persen. Itu tidak masuk akal dan berbahaya,” tegasnya.
Baca juga : Harga Minyak Anjlok, Harga BBM Bisa Turun Lagi
Bambang juga mempertanyakan subsidi biodiesel Rp 10,3 triliun kepada 19 perusahaan sawit pada 2017. Berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, lima perusahaan sawit terbesar menerima 76,87 persen dari dana itu. Atau Rp 7,92 triliun. Sisanya, untuk 14 perusahaan lainnya.
“Seharusnya subsidi itu diberikan kepada perusahaan transportasi yang dirugikan akibat B30. Karena banyak dan seringnya mesin yang di-overhaul. Tentu butuh SDM yang berjumlah besar. Padahal jumlahnya terbatas. Apalagi adanya wabah virus corona. Jadi bukan pengusaha kelapa sawit yang mendapatkan subsidi,” tegasnya. [TIF]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya