Dark/Light Mode

Soal UU Nomor 21 Tahun 2001, Freddy Numberi: Otsus Yang Implementasinya Tidak Khusus

Sabtu, 1 Agustus 2020 16:09 WIB
Freddy Numberi/Ist
Freddy Numberi/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Tokoh masyarakat Papua Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi menilai kehadiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua belum sepenuhnya memberikan harapan bagi masyarakat atau Orang Asli Papua (OAP) untuk lebih sejahtera dan mewujudkan perdamaian di Bumi Cendrawasih. Kondisi ini pula yang menyebabkan tak sedikit OAP menolak Otsus Jilid II dan menuntut merdeka. 

“Sebab Otsus yang ada ternyata implementasinya tidak khusus,” kata Freddy dalam keterangan tertulisnya kepada Rakyat Merdeka, Sabtu (1/8). 

Eks Gubernur Irian Jaya ini mengatakan, sejatinya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua merupakan langkah vital Pemerintah Pusat dan menjadi tumpuan besar harapan bagi OAP tentang masa depan yang lebih sejahtera, aman, damai, adil dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini tercermin dalam preambul Undang-Undang Otsus di mana Pemerintah Indonesia pada titik “Menimbang” butir f mengakui bahwa: “Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.” 

“(Undang-Undang Otsus Papua) Pengakuan Pemerintah Indonesia pada tahun 2001 ini menggambarkan bahwa selama kurang lebih 38 tahun sejak 1963, pembangunan yang ada di Papua belum dapat mensejahterakan OAP,” katanya.

Freddy mengaku, selama dua dekade ini Undang-Undang Otsus Papua justru sama sekali tidak menunjukkan implementasi kekhususannya. Yang terjadi justru banyak kewenangan sesuai undang-undang tersebut masih tetap berada pada Pemerintah Nasional yang membuat masyarakat Papua kecewa dan pesimis serta semangat OAP menjadi pudar. 

Ironinya, impunitas aparat keamanan terus berlanjut dan OAP banyak yang menderita di masa lalu maupun masa kini yang telah menjadi suatu ingatan kolektif memoria passionis (ingatan penderitaan) dari generasi ke generasi. 

Baca juga : Soal Iuran Tapera, Pengusaha: Waktunya Tidak Pas

“Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna,” kata Freddy mengutip tulisan eks Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis tentang Papua pada 2008.

Beban Undang-Undang Otsus yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Nasional sesuai kekhususan yang telah diamanatkan, sambung Freddy, telah memicu nasionalisme Papua dan berhasil menyatukan kurang lebih 310 kelompok etno-linguistik yang berbeda. “Ini paradoks dalam dirinya sendiri. Menunjukkan sejauh mana Otsus mempengaruhi OAP dan mengungkapkan kekuatannya sebagai sumber perubahan yang diharapkan namun gagal dalam implementasinya,” jelas eks Menteri Perhubungan ini.

Karena itu, dia tidak heran jika belakangan ini Papua semakin panas dengan berbagai unjuk rasa yang menolak kelanjutan Otsus berkaitan dengan pendanaan. Ini dikarenakan dana Otsus yang mengalir tidak tranparan baik untuk bidang pendidikan dan kesehatan sejak tahun 2002 hingga pertengahan tahun 2019 untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. 

Padahal pemerintah telah mengalokasikan dana cukup besar bagi dua provinsi termuda tersebut yakni Rp 80.024,83 triliun diluar Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp 25.614,80 triliun.

“Dengan demikian, uraian singkat tentang latar belakang historis Undang-Undang Otsus tersebut dan munculnya nasionalisme Papua adalah sesuatu yang perlu ditangani secara serius oleh Pemerintah Nasional,” katanya.

Bagi OAP, kata Freddy, masa lalu yang penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia dalam menentukan masa depan mereka adalah perselisihan internasional mengenai kontrol teritorial di tengah Perang Dingin saat itu. PBB waktu itu melalui Resolusi 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969 secara de facto maupun de jure menyerahkan secara ab initio kepemilikan teritori tersebut kepada Indonesia. Kewajiban Indonesia sesuai Resolusi PBB tersebut dijelaskan pada bagian penutup, butir ‘Nothing’.

Baca juga : Sambut Akhir Tahun 2019, Sharp Berikan Promo Khusus

Noting that the Government of Indonesia, in implementing its national development plan, is giving special attention to the progress of West Irian, bearing in mind the specific condition of its population. Yang intinya memperhatikan kondisi spesifik masyarakat setempat, hal ini berkaitan dengan karakteristik OAP setelah membaca dan mendengar dari Sekjen PBB tentang resolusi ini yang akhirnya disetujui oleh 84 negara, 30 negara abstain, 16 negara tidak hadir dan negara yang menolak resolusi tersebut nihil,” jelasnya.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu sejak 1969, barulah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua setelah 32 tahun kemudian. Faktanya, hingga tahun 2020 hasilnya masih tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh OAP. 

“Ini yang menyebabkan OAP menolak Otsus Jilid II dan menuntut merdeka,” kata Freddy.

Disamping itu, lanjut dia, tidak bisa dinafikkan adanya pelanggaran HAM dengan pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi. Freddy lalu mengutip sejumlah pernyataan Presiden Jokowi yang menghendaki Papua menjadi  kawasan yang penuh perdamaian. 

Pertama, yakni kunjungan Jokowi ke Papua pertama kali menjabat kepala negara pada 2014 lalu. Dalam kedatangannya tersebut, Jokowi ungkapkan keinginan pemerintah lebih banyak mendengar aspirasi masyarakat Papua. “Kedatangan saya ke Papua ingin digunakan sebanyak-banyaknya, mendengar suara rakyat Papua, semangat berdialog dengan hati sebagai fondasi untuk menatap masa depan Tanah Papua” tulis Freddy mengutip pernyataan Jokowi di Papua pada 29 Desember 2014.

“Marilah kita bersatu. Yang masih ada di dalam hutan, yang masih berada di atas gunung-gunung, marilah kita pelihara rasa saling percaya diantara kita, sehingga kita bisa berbicara dengan suasana yang damai dan sejuk,” tulis Freddy lagi mengutip pernyataan Jokowi.

Baca juga : Dalam Sehari, Kasus Positif Bertambah 1.560, Totalnya Jadi 109.936

Selain itu, sambung Freddy, Jokowi ungkapkan keinginannya untuk mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua. “Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan,” tulis Freddy mengutip pernyataan Jokowi pada 27 Desember 2014.

Lebih lanjut, Jokowi, kata Freddy, menghendaki kasus pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada kasus penembakan di Panian pada 8 Desember 2014 lalu tidak terulang.  Menurut Jokowi, kasus penembakan di Paniai hanyalah salah satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi selama ini. 

Jokowi pun bertekad agar perdamaian di kawasan Papua bisa segera terwujud. “Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut terus menjadi masalah nasional, bahkan internasional,” tulis Freddy mengutip pernyataan Jokowi pada 9 Mei 2015.

Bagi Freddy, berbagai pernyataan Jokowi tersebut menunjukkan keinginan pemerintahan di era Jokowi agar stabilitas perdamaian dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua bisa dijalankan. “Dengan demikian, dialog Jakarta-Papua menjadi suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam rangka menyatukan persepsi antara OAP dan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah dalam meraih Tanah Papua yang damai, adil, sejahtera, demokratis dan menghormati Hak Asasi Manusia,” tegas Freddy.

Freddy lalu mengutip pernyataan tokoh perdamaian dunia asal India, Mahatma Gandhi. Menurut Mahatma, hubungan manusia didasarkan pada empat prinsip, yakni menghormati, memahami, menerima dan menghargai.

“Apa yang dikatakan Mahatma Gandhi ini memotivasi bangsa Indonesia yang besar agar mau berdialog yang setara antara satu sama lainnya di seluruh Indonesia manakala ada konflik yang berkepanjangan contohnya seperti di Papua,” tutupnya. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.