Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Perlunya Harmonisasi antara Pembangunan dan APBN Seret

Kamis, 27 Agustus 2020 18:27 WIB
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, Prof. R Benny Riyanto.
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, Prof. R Benny Riyanto.

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah berupaya agar pembangunan infrastruktur di Indonesia terus berjalan. Sayangnya, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak cukup mendanai pembangunan.

Sejumlah alternatif pendanaan pun dibuat. Misalnya dengan melibatkan peran swasta melalui skema kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau skema Pembangunan Infrastruktur Non Anggaran (PINA).

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI, Prof. R Benny Riyanto mengatakan, aturan main pelaksanaan KPBU mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Hal ini dia sampaikan dalam Forum Grup Diskusi (FGD) Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi (AE) terkait Pembiayaan Infrastruktur. FGD juga dihadiri perwakilan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, dan Direkorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada Rabu (26/8) di gedung BPHN, Cililitan–Jakarta Timur.

Aturan ini mengatur 19 jenis proyek infrastruktur yang dapat dikolaborasikan dengan pihak swasta. Seperti infrastruktur jalan raya, air minum, telekomunikasi, pendidikan, lembaga pemasyarakatan, kesehatan, maupun perumahan rakyat. Yang menjadi catatan, aturan ini hanya diatur peraturan setingkat Perpres.

Baca juga : Global Fortune 500 dan Kuasa Pertambangan Pertamina

“Perlu disusun peraturan setingkat dengan undang-undang. Hal ini tentunya sangat menyulitkan dalam pelaksanaanya karena mengatur lebih banyak sektor dalam pemerintahan,” ungkapnya.

Sementara Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz mengatakan, sangat disayangkan payung hukum pelaksanaan KPBU hanya berstatus Pepres. Padahal, berdasarkan hasil penelusurannya, ditemukan 168 regulasi terkait pembiayaan infrastruktur dari masa ke masa. Namun, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 yang menjadi leading regulation terkait pelaksanaan KPBU.

“Regulasi pembiayaan infrastruktur sebagian besar ada pada level di bawah undang-undang,” kata Aziz, yang mengikuti FGD secara virtual.

Sekali pun payung hukum KPBU hanya setingkat Perpres, Kasubdit Rancang Bangun II Direktorat Kerja sama Pemerintah-Swasta Rancang Bangun pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Novie Andriani mengatakan, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 sudah cukup sebagai dasar hukum pelaksanaan KPBU. Hanya saja, pelaksanaan regulasi tersebut yang perlu diharmonisasi dengan regulasi lainnya.

“Perlu harmonisasi regulasi dan pelaksanaan KPBU dengan regulasi di bidang jasa konstruksi, regulasi pemanfaatan BMN dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur (KSPI), regulasi kerja sama daerah, dan regulasi yang sifatnya sektoral,” kata Novie.

Baca juga : Pembangunan Rusunawa Kok Banyak Gagal Lelang

Dia mencontohkan, regulasi yang tidak harmonis salah satunya terkait kewajiban penyediaan rumah susun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Menurutnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan, penyediaan rumah untuk MBR adalah kewenangan pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembiayaan Perumahan (Kementerian PUPR).

Namun, jika merujuk ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, tidak dinyatakan dengan jelas kewenangan penyediaan rumah susun. “Ini berpotensi menghambat penyelenggaraan KPBU pembangunan rumah susun untuk MBR,” kata Novie.

Selain itu, dia mencontohkan ketidakharmonisan aturan terkait Kerja Sama Daerah Dengan Pihak Ketiga (KSDPK) yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah. Dalam pelaksanaannya, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dibuat khawatir proyek KPBU daerah akan terhambat.

Sebab, masih ada penafsiran bahwa KSPDK sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2018 harus mengantongi persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal, skema KPBU sebagaimana Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tidak mencakup hingga ke KSDPK.

Baca juga : Menteri PUPR: Pagu 2021 Diprioritaskan Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi

“Sedangkan persetujuan DPRD tidak mudah untuk didapatkan. Terdapat beberapa proyek yang terhambat karena sulit memperoleh persetujuan DPRD,” kata Novie.

Senada dengan Novie, Kepala Seksi Peraturan dan Penelaahan Dokumen Direkorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Canggih Puspitasari mengatakan, perlu harmonisasi kebijakan antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah demi kelancaran proses penyiapan dan transaksi proyek KPBU.

Sebab persoalan di lapangan, sulit sekali mendapatkan persetujuan DPRD terkait proyek KPBU daerah yang menimbulkan kewajiban finansial bagi Pemerintah Daerah.

“Untuk beberapa kasus terutama untuk daerah yang hubungan Pemerintah dan DPRD-nya kurang harmonis, Pemerintah Daerah kesulitan mendapatkan izin dari DPRD tersebut. Akibatnya, ehingga menghambat proses pelaksanaan skema KPBU dimaksud,” kata Canggih. [BSH]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.