Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Terbukti Terima Duit Proyek BCSS

Mantan Stafsus Kepala Bakamla Diburu Lagi

Senin, 19 Oktober 2020 06:17 WIB
Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri.
Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri.

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mencari lagi keberadaan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi, mantan Staf Khusus Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) era Arie Soedewo. 

Politisi PDIP itu hendak diperiksa terkait proyek Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) tahun 2016. 

Berdasarkan putusan pengadilan, Ali Fahmi terbukti menerima Rp 3,5 miliar dari Rahardjo Pratjihno, Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (CMIT). 

Rahardjo memberikan uang itu sebagai fee kepada Ali lantaran sudah dibantu mendapatkan proyek ini. 

“Tentunya siapa pun yang diduga mengetahui peristiwa itu nantinya akan dipanggil,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri. 

Selama ini Ali Fahmi selalu mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK. Ia menghilang sejak kasus suap proyek Bakamla dibongkar lewat operasi tangkap tangan pada akhir 2016. 

Hasil penyidikan lembaga antirasuah, Ali Fahmi berperan mengatur pemenang proyekproyek di Bakamla.“(Pencariannya) kita serahkan ke penyidik,” kata Ali Fikri. 

Masih ada dua tersangka kasus BCSS yang belum diadili. Yakni Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Leni Marlena Bakamla dan Juli Amar Maruf, Koordinator ULP. 

Baca juga : Prediksi BMKG, Sepekan Ke Depan Jakarta Diguyur Hujan Lebat

Berdasarkan hasil persidangan perkara Rahardjo, Jaksa KPK Takdir Suhan meminta penyidik memanggil Ali Fahmi untuk diperiksa terkait proyek BCSS. 

“Semoga beliau (Ali Fahmi) bisa dipanggil oleh penyidik sebagai saksi karena memang jelas dalam pertimbangan selalu disebutkan diulang-ulang dan memang ada komunikasi,” kata Takdir usai sidang pembacaan vonis perkara Rahardjo pada 16 Oktober 2020. 

Takdir juga yang ditunjuk menangani perkara Leni dan Juli. Ia kembali menandaskan perlunya Ali Fahmi diperiksa.

“Ada fakta yang menjadi pertimbangan majelis hakim supaya itu bisa ditindaklanjuti oleh penyidik supaya nanti bisa di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan),” tukasnya. 

Nama Ali Fahmi pertama kali muncul dalam perkara suap proyek satelit monitoring Bakamla yang menjerat Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah. 

Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk ikut dalam lelang proyek di Bakamla. Namun Ali Fahmi meminta Fahmi Darmawansyah menyerahkan uang untuk mendapatkan proyek tersebut. 

Fahmi Darmawansyah mengucurkan dana mencapai Rp 24 miliar kepada Ali Fahmi untuk proyek satellite monitoring dan drone. Uang tersebut diduga telah disalurkan Ali Fahmi kepada sejumlah anggota DPR yang membantunya meloloskan anggaran proyek Bakamla yang sempat dibintangi Kementerian Keuangan. 

Belakangan nama Ali kembali disebut sebagai inisiator yang menawarkan Dirut PT CMIT Rahardjo Pratjihno ikut proyek di BCSS. Ali Fahmi menerima imbalan Rp 3,5 miliar. 

Baca juga : Bos PT CMIT Dituntut Ganti Kerugian Negara Rp 60 Miliar

Pemberian uang melalui perantara Hardy Stefanus, anak buah Fahmi Darmawansyah. Rahardjo menyerahkan cek Bank Mandiri tertulis Rp 3,5 miliar kepada Hardy di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pada 28 Oktober 2016, Hardy mencairkan cek itu atas perintah Ali Fahmi. 

Uang hasil pencairan cek lalu ditukar menjadi dolar Singapura. Uang dolar diserahkan Hardy kepada Ali Fahmi di Starbuck area Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran. Saat itu tengah berlangsung pameran persenjataan Indo Defence. 

Dalam surat dakwaan perkara Rahardjo disebutkan, CMIT berhasil mendapatkan proyek berkat Ali Fahmi. Awalnya, Rahardjo diajak ke Bakamla pada Maret 2016. Mereka bertemu Arief Meidyanto, Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla. 

“Ali Fahmi memperkenalkan Terdakwa sebagai konsultan IT yang diminta untuk mengembangkan teknologi di Bakamla.” Arief menjelaskan ingin mengembangkan Bakamla Integrated Information System (BIIS). 

Menanggapi keinginan itu, Rahardjo akan membawa tim teknis dari CMIT untuk membahas pengembangan BIIS. Seminggu kemudian , Rahardjo beserta staf CMIT datang ke Bakamla. Arief memperkenalkan Rahardjo dengan Kepala Bakamla Arie Soedewo. 

Rahardjo mengusulkan kepada Arie Soedewo dan Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri atau independen. Yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance. 

Jaringan ini terintegrasi dengan BIIS. Pada rapat April 2016, Arie Soedewo memerintahkan unit kerja anggaran untuk APBN Perubahan 2016. Arief pun berkonsultasi dengan Rahardjo untuk proyek BCSS termasuk anggarannya. 

Pada Mei 2016 bertempat di Cafe Ajag Ijig Jalan Juanda Nomor 14 Jakarta Pusat, Rahardjo dan Arief Meidyanto membahas proyek ini. Rahardjo akan menyusun spesifikasi teknis untuk masing-masing stasiun Bakamla di daerah berikut anggarannya. 

Baca juga : Kepala Dinas PUPR Disuruh Bupati Pungut Fee 21 Persen

Dalam rapat pembahasan anggaran di DPR, diusulkan anggaran proyek Rp 400 miliar dimasukkan dalam APBN Perubahan 2016. Namun anggaran masih dibintangi. Alias butuh persetujuan untuk pencairannya. 

Ali Fahmi lalu memanggil Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Leni Marlena mengenai proyek BCSS. Pada 16 Agustus 2016, Bakamla mengumumkan lelang pengadaan “BCSS yang terintegrasi dengan BIIS” secara elektronik di situs lpse.BAKAMLA.go.id. Pagu anggarannya Rp 400 miliar. 

Dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 399.805.206.746. Belakangan, Kementerian Keuangan memotong anggaran proyek ini. 

Anggaran yang tersisa Rp 170.579.594.000. Dengan perubahan anggaran itu, seharusnya lelang diulang. Namun yang terjadi justru perubahan desain. Mengacu anggaran yang tersedia. CMIT tetap ditunjuk mengerjakan proyek. Dalam pelaksanaan proyek, CMIT mengalihkan pekerjaan kepada 11 perusahaan. 

Hingga 31 Desember 2016, proyek belum selesai. Bahkan ada perangkat yang baru dipasang pada pertengahan 2017. Meski tidak dapat menyelesaikan pekerjaan , Bakamla melakukan pembayaran kepada CMIT sebesar Rp 13. 416.720.073 setelah dipotong pajak. 

Hasil perhitungan BPKP, CMIT hanya menghabiskan biaya Rp 70.587.712.066,08 dalam pengerhaan proyek. Sehingga perusahaan itu memperoleh keuangan mencapai Rp 63.829.008.006,92. Setelah dikurangi fee untuk Ali Fahmi, keuntungan yang diraih sebesar Rp 60.329.008.006,92. [BYU]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.