Dark/Light Mode

Revisi PP 109 Diyakini Tak Efektif Turunkan Angka Perokok Anak

Selasa, 13 Juli 2021 19:59 WIB
Kampanye anti rokok. (Foto: Ilustrasi/Kemenkes)
Kampanye anti rokok. (Foto: Ilustrasi/Kemenkes)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah didorong serius menurunkan prevalensi perokok anak. Sebab, ini adalah salah satu bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang menargetkan penurunan angka perokok anak di bawah 18 tahun menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

Target tersebut diusung oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mendesak dilakukannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Usulan revisi tersebut antara lain berisi perluasan gambar peringatan kesehatan atau Pictorial Health Warning (PWH) pada kemasan rokok dari 40 persen menjadi 90 persen, pelarangan penggunaan bahan tambahan, memperketat pengaturan iklan, serta pelarangan kegiatan sponsorship dan promosi oleh perusahaan penghasil produk tembakau.

Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) menggelar diskusi bersama perwakilan Kementerian Perindustrian terkait peran pedagang rokok dalam menegakan larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur. Sebagaimana diketahui, hal ini merupakan salah satu poin utama yang diatur di dalam PP 109 Tahun 2012.

Dalam riset yang dilakukan beberapa waktu lalu, lembaga riset IPSOS mengungkap bahwa 32 persen General Trade atau pedagang rokok tradisional atau warung sama sekali tidak tahu ada peraturan larangan penjualan rokok kepada anak-anak. Karena mereka tidak pernah mendapat sosialisasi pemerintah tentang aturan tersebut.

Sebagian menyimpulkan larangan itu hanya berlaku bagi pelanggan rokok, dan bukan untuk pedagang. Bahkan, pedagang rokok tradisional juga mengira bahwa produk rokok dapat diperjualbelikan kepada siapa saja, selama rokok tersebut legal.

Baca juga : FIBA Asia Cup 2021, Menpora Tekankan Atlet Jaga Protokol Kesehatan

Ketika dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pernah atau tidaknya para pedagang ini menjual rokok kepada anak, ternyata 34 persen mengaku pernah melakukannya dengan asumsi bahwa rokok tersebut untuk kebutuhan orang dewasa, atau orang tua si anak. Asumsi tersebut didasari pada pembelian rokok dalam bentuk kemasan utuh, dan bukan eceran. Di antara mereka juga mengungkapkan, bahwa jika mereka melarang pembelian oleh anak, hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan.

Karenanya, dengan banyaknya pedagang rokok tradisional berlokasi di lingkungan pemukiman dan seiring dengan tujuan menekan akses anak di bawah umur kepada rokok, pemerintah perlu melakukan suatu upaya untuk meningkatkan pengetahuan pedagang terkait regulasi penjualan rokok kepada anak.

"Apa yang melatarbelakangi regulasi tersebut, serta menerapkan sanksi kepada para pedagang yang tetap melakukannya," kata Soeprapto Tan, Managing Director IPSOS di Indonesia dalam keterangannya, Selasa (13/7).

Soeprapto juga mendapati fakta dari para pedagang, bahwa untuk menjadikan peraturan ini lebih efektif diperlukan kegiatan edukasi oleh pemerintah sebagai regulator maupun pelaku industri rokok.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular pada Kemenkes Cut Putri Arianie menyebut, sosialisasi dan penegakan hukum terkait PP 109 Tahun 2012 seharusnya menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak. Kemenkes fokus pada penanganan dampak rokok di hulu. Sementara penegakan hukum ada di hilir.

Baca juga : Mahfud Gerak Cepat, Yasonna Gerak Lambat

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) ikut memberikan tanggapannya terkait rencana revisi PP 109 Tahun 2012. Ketua GAPRINDO Benny Wachjudi setuju dan mendukung target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi perokok anak.

Meski begitu, revisi peraturan dinilai bukalah sebuah jalan keluar yang tepat. Pada dasarnya, kata dia, PP 109 Tahun 2012 sudah sangat memadai dan tidak perlu direvisi. Jika ada yang kurang, karena implementasinya. Khususnya sosialisasi dan edukasi masyarakat serta  penegakannya. Apalagi, dalam PP 109 Tahun 2012 tegas melarang penjualan rokok kepada anak dibawah 18 tahun dan ibu hamil.

"Sehubungan dengan usulan revisi terkait memperbesar ukuran gambar kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen, kami berpandangan justru berpotensi meningkatknya rokok ilegal yang akan berdampak pada turunnya pendapatan negara dari pajak dan cukai. Ini juga melanggar hak pelaku usaha menampilkan merek dagang dan logo perusahaan yang dilindungi undang-undang," ingatnya. 

Benny menyampaikan, studi yang dilakukan di negara lain mengungkap, perluasan peringatan kesehatan terbukti tidak efektif menurunkan prevalensi perokok anak. Perluasan peringatan di kemasan malah membuka peluang pemalsuan. Sebab, merek dan identitas produk tidak terlihat jelas.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan, PP 109 Tahun 2012 sebenarnya sudah lebih ketat jika dibandingkan dengan Framework Convention for Tobbaco Control (FCTC). Padahal, FTFC merupakan acuan internasional pengendalian Industri Hasil Tembakau (IHT) internasional.

Baca juga : Indonesia Targetkan 2022 Bebas Pekerja Anak

Sebagaimana temuan IPSOS, saat ini penegakan dan sosialisasi belum dilakukan secara optimal. Edy juga mengingatkan, semua sisi harus dipertimbangkan dalam membuat regulasi, karena aturan yang lebih ketat dari PP 109 Tahun 2012 dapat mematikan IHT.

Dia menyebut, IHT jangan sampai mengalami seperti yang terjadi pada industri rotan. Karena regulasi yang tidak berpihak, industri rotan terpuruk 10 tahun lalu dan sampai sekarang tidak kunjung bangkit. "Akan ada dampak sosial politik amat besar jika IHT juga ambruk," ujarnya khawatir. [FAQ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.