Dark/Light Mode

Wisuda Doktor Ilmu Hukum Unpad, Bamsoet Ingatkan Perlunya Penguatan MPR

Senin, 15 Mei 2023 16:41 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) saat diwisuda sebagai doktor ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Senin (15/5). (Foto: Dok. MPR)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) saat diwisuda sebagai doktor ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Senin (15/5). (Foto: Dok. MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan perlu dilakukan penguatan kembali peran dan fungsi MPR. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat. Sebab, MPR setelah amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang bersifat mengikat atau regeling.

"Penguatan fungsi dan kewenangan MPR perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kedaruratan politik atau konsitusi di Indonesia. Selain untuk menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif, dan komprehensif agar bangsa Indonesia selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang, usai diwisuda sebagai Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), di Bandung, Senin (15/5).

Wisuda dipimpin langsung Rektor Unpad Rina Indiastuti didampingi Rektor ke-11 Unpad Tri Hanggono, Ketua Dewan Profesor Arief Anshory Yusuf, Wakil Rektor Arief S Kartasasmita, Ida Nurlinda, Hendarmawan, dan Yanyan Mochamad Yani, Dekan Fakultas Hukum Idris, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Nunuy Nur Afiah, serta Dekan Fakultas Farmasi Ajeng Diantini.

Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik ataupun krisis konstitusi di Indonesia. Namun, bangsa Indonesia tetap harus melakukan antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif, dan komprehensif.

Baca juga : Garuda Gaet Air Astana Perluas Penerbangan Ke Kazakhstan

Misalnya, terjadi krisis politik yang membuat Pemilu yang harusnya dilaksanakan 5 tahun sekali, tidak dapat dilakukan tepat waktu karena alasan kedaruratan. Penundaan Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 431. Ditetapkan bahwa Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

"Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik," kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini memaparkan, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada kekosongan pemerintahan, jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sebab, di dalam konstitusi belum mengatur perpanjangan atau penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden, serta Anggota DPR/MPR dan DPD.

"Kalau kepala daerah ada Plt, tetapi bagaimana dengan Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota MPR dan Anggota DPD. Apakah disebut Plt Presiden, Plt Wakil Presiden, Plt Anggota DPR dan seterusnya. Krisis politik menjadi kenyataan tidak terhindarkan karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu," urai Bamsoet.

Baca juga : Bamsoet Ingatkan Netralitas ASN Jelang Pemilu 2024

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH UNPAD) ini juga menyoroti mengenai pengangkatan presiden dan wakil presiden terpilih yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR (TAP MPR). Sebab, penetapan presiden selama ini hanya berupa Surat Keputusan (SK) KPU. Sementara, TAP MPR hanya mengatur tentang pemberhentian presiden/wakil presiden dan pengangkatan presiden/wakil presiden dalam satu periode masa jabatan selama 5 tahun.

"Saat pelantikan presiden/wakil presiden diawal masa jabatannya tidak ada TAP MPR. Hanya mengatakan sumpah di depan MPR, di depan Ketua Mahkamah Agung melalui berita acara. Tidak ada TAP MPR-nya hanya berupa keputusan KPU. Kalau terjadi apa-apa bagaimana mencabutnya," tegas Bamsoet.

Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia ini menambahkan, kedaruratan konstitusi dapat pula terjadi ketika ada kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan DPR (legislatif). Atau terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif).

Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara.

Baca juga : Beri Kuliah Umum Di Seskoal, Bamsoet Ingatkan Ancaman Geopolitik Global

"Langkah antisipasi mengatasi krisis politik atau krisis konstitusi ini dengan cara mengembalikan kewenangan MPR menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik atau konstitusi antar lembaga negara atau antar-cabang kekuasaan," pungkas Bamsoet.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.