Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Soal Syarat Nyapres 20 Persen

Ketum PAN Memberontak, Kader Banteng Enjoy Saja

Jumat, 27 Mei 2022 08:00 WIB
Politisi PDIP, Hendrawan Supratikno. (Foto: Istimewa)
Politisi PDIP, Hendrawan Supratikno. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak ambil pusing dengan penolakan penerapan Presidential Threshold (Preshold) 20 persen sebagai aturan main di Pilpres 2024. Partai penguasa ini, justru menyarankan parpol-parpol bersiap menghadapi Pemilu dengan mengadu figur dan program.

“Parpol harus mengutamakan figur dan narasi masa depan. Jangan terus silau oleh mesin kalkulator amunisi,” ujar politisi PDIP, Hendrawan Supratikno, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Pernyataan ini, merupakan reaksi atas pendapat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan alias Zulhas yang mengasumsikan Preshold 20 persen membuat politik menjadi transaksional. Apalagi, aturan ini tidak hanya untuk Pilpres, juga Pilkada.

Menurutnya, politik transaksional itu akarnya adalah dampak situasional penerapan demokrasi liberal di tengah kondisi masyarakat yang masih berjuang dengan kebutuhan pokok. Seperti, pangan, sandang, dan pendidikan.

“Ditambah budaya taat hukum yang lemah sebagai ciri soft-state alias negara lembek, meminjam istilah politisi Swedia, Gunnar Myrdal,” sebutnya.

Guru Besar Universitas Satya Wacana ini tidak menampik, berjalannya demokrasi liberal setelah Orde Baru tumbang itu membuat amunisi atau dana sebagai salah satu modal dasar dalam politik. Dampaknya, tidak sedikit yang mengakumulasi dana. Istilahnya, kuasa uang sangat menentukan.

Agar tidak terjebak dengan masalah duit sebagai modal politik, disarankan partai politik mengutamakan faktor figur dan program kerakyatan. Ini, adalah jalan keluar memperbaiki literasi demokrasi, dan etika kehidupan berbangsa. “Ada Tap MPR soal ini, yaitu Tap MPR VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,” katanya.

Anggota Komisi XI DPR menjelaskan, di era demokrasi, pro dan kontra biasa terjadi. Itu sebabnya, demokrasi dianggap sistem politik yang ramai dan gelisah. Semua dipermasalahkan. Radar demokrasi berusaha menangkap aspirasi yang marginal sekalipun alias voice of the voiceless. “Kultur yang dikembangkan adalah debat publik, deliberasi aspirasi,” tekannya.

Dengan demikian, tidak perlu heran dengan perdebatan Preshold 20 persen. Jika ada yang menolak, tentu ada juga yang menilai aturan main tersebut relevan diterapkan di dalam Pemilu. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berkali-kali menolak gugatan tentang aturan ini.

“MK berkali-kali membuat putusan jelas. Bahwa hal tersebut merupakan hak pembuat Undang Undang (UU), dalam hal ini DPR. DPR dulu, membuat ambang tersebut dalam rangka memperkuat sistem presidensial sebagai salah satu amanat konstitusi,” jelasnya. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Berita Lainnya