Dark/Light Mode

Pengamat: Dinasti Politik Membonsai Demokrasi Yang Ada Di Indonesia

Senin, 6 November 2023 19:43 WIB
Peneliti senior BRIN Prof. Lili Romli/Ist
Peneliti senior BRIN Prof. Lili Romli/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli menilai, dinasti politik menjadi persoalan ketika hal tersebut membajak dan membonsai demokrasi. Khususnya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” tegas Lili Romli di Jakarta, Senin (6/11/2023).

Menurutnya, banyak kasus di Indonesia, karena demokrasi elektoral hanya sekadar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan dan civil society dikooptasi. Politik dinasti juga menguasai sumber daya ekonomi, bahkan koruptif.

“Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” ujarnya.

Lili menyebut negara-negara maju juga ada politik dinasti yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tapi, tidak ujug-ujug berkuasa, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader yang lain.

“Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik, sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” ujarnya.

Baca juga : Perkuat Sinyal, Telkomsat Targetkan Layani 1.000 Lokasi Di Indonesia Timur

Lili menilai, jika kondisi politik dinasti berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang.

Menurutnya, untuk proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam.

“Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” kata Lili.

Perkuat Kontrol

Sementara, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga Prof Kacung Marijan mengatakan, subur tidaknya politik dinasti tergantung oleh mekanisme kontrol.

"Kontrolnya bisa dua. Pertama di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat menganggap itu tidak baik, masyarakat bisa kolektif menolak dan tidak memilihnya," jelas Prof Kacung, Senin (6/11/2023).

Baca juga : Pemilu 2024, Hindari Narasi Polarisasi Dan Pecah Belah

Namun masih ada kesempatan di tahap kedua, setelah terjadi pemilihan.

"Ketika calonnya itu sudah terpilih, yaitu bagaimana terjadinya proses kontrol itu sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini ya lewat DPR," ungkapnya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi pengawasan, yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang Undang, APBN dan Kebijakan Pemerintah.

"Kalau DPR-nya lebih kuat, seharusnya kontrol kepada pemerintah harus lebih kuat," kata Prof Kacung.

Lebih lanjut, Prof Kacung menegaskan, politik dinasti terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis.

"Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misalnya, setelah menjabat kepala daerah, istri atau anaknya yang menggantikan dan seterusnya," jelasnya.

Baca juga : Keren, Dinkominfo Muba Kembali Harumkan Daerah Di Tingkat Nasional

Menurut dia, pengalaman di beberapa daerah di Indonesia ada contoh baik dan buruknya. Misalnya, di Banyuwangi, Bupati Azwar Anas digantikan istrinya.

"Sejauh ini jalannya pemerintahan oleh istrinya Pak Anas itu baik. Sementara contoh yang buruk adalah di Bogor. Bupati Bogor pernah digantikan adiknya, dan dua-duanya tersangka korupsi," tutur Prof Kacung.

Sementara, politik dinasti di tingkat nasional terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Anaknya, Gibran Rakabuming Raka terjun ke dunia politik dengan menjadi Wali Kota Solo, yang kini jadi Cawapresnya Prabowo Subianto.

Menantu Jokowi, Bobby Nasution, adalah Wali Kota Medan. Kemudian, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Terakhir, adik Ipar Jokowi, Anwar Usman adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang meloloskan sebagian gugatan batas usia capres-cawapres.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.