Dark/Light Mode

Pemilu 2024, Hindari Narasi Polarisasi Dan Pecah Belah

Rabu, 1 November 2023 22:23 WIB
Diskusi publik dengan tema Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian Bermuatan SARA di Ruang Digital di Tahun Politik yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023). Foto: Istimewa
Diskusi publik dengan tema Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian Bermuatan SARA di Ruang Digital di Tahun Politik yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023). Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Perbedaan pilihan politik di Pemilu 2024, hendaknya tidak membuat masyarakat Indonesia terpecah. Sejumlah kalangan dan relawan menyakini, pertarungan di Pilpres 2024, tak akan begitu keras. Pasalnya, setiap kandidat, sudah meninggalkan cara-cara dan isu lama yang memecah belah.

Ketua Umum Relawan Prabowo Budiman (Prabu) Arvindo Noviar menilai, saat ini polarisasi politik sudah berkurang. Apalagi jagoannya, Prabowo-Gibran, mengusung kampanye damai yang merangkul.

"Misalnya fitnah dan hoax dibalas dengan senyuman. Ada diksi gemoy dan lain-lain yang terus digencarkan jagoan kami yang bikin Pilpres menggembirakan," kata Arvindo saat diskusi publik dengan tema Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian Bermuatan SARA di Ruang Digital di Tahun Politik yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).

Prabowo, kata dia, tegas berpesan kepasa relawannya untuk kampanye santun. Tidak memakai politik identitas dan SARA.

Baca juga : Tinjau Proyek IKN, Andi Gani Pastikan Pembangunan Berjalan Sesuai Target

Potensi polarisasi, lanjutnya, semakin menipis karena generasi muda yang jumlahnya massif, semakin aktif dan teredukasi di ruang publik digital.

"Ditambah semesta sepertinya mendukung membuat Pilpres menjadi 3 pasang. Rasa-rasanya kok posisi berhadap-hadapannya tidak akan terlalu ketat," tandas Arvindo.

Ketua Umum Forum Masyarakat Cinta Bangsa (FMCB), Sayuti mengingatkan, yang paling utama dari Pemilu 2024 bukan siapa yang terpilih. Melainkan memastikan perbedaan pilihan politik tidak membuat rakyat terpecah.

Pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 hendaknya menjadi pil pahit. Kehidupan berbangsa dan bernegara rusak parah. Penyebabnya, isu SARA lebih dominan ketimbang gagasan maupun visi misi.

Baca juga : Tanggal Merah November 2023, Cek Hari Nasional Dan Internasional Yang Dirayakan

Bahkan kata dia, polarisasi di dua event kontestasi itu, sampai masuk ke dapur rumah tangga. Suami istri bercerai. Antar keluarga bermusuhan. Fanatisme politik yang dicampur dengan isu SARA membuat banyak orang sulit berpikir.

"Siapa pun yang terpilih, kasarnya rakyat bodo amat. Yang penting, persatuan dan kesatuan itu yang utama. Jangan sampai perbedaannya amat curam dan keras antar saudara seperti sebelumnya," ingatnya.

Oleh sebab itu, kedewasaan dalam berpolitik sangat penting. Kontestasi harus berjalan elegan dengan mengedepankan ide dan gagasan, bukan lagi sentimen rasial.

"Kepada oknum-oknum, buzer, yang suka menyebar ujaran kebencian, hoaks dan politisasi agama, ayo stop. Jangan korbankan persatuan," ajaknya.

Baca juga : Kemenperin Apresiasi Hilirisasi dan Pabrik Pewarnaan Baja Lapis Tatalogam Group

Sementara itu, Direktur Eksekutif Studi Rakyat Demokrasi (SDR) Hari Purwanto, menilai, rakyat sudah lelah dengan pengalaman kontestasi politik sebelumnya.

Seluruh pihak, dari mulai kontestan, hingga tim sukses dan simpatisan, perlu mengedepankan etika dan kedewasaan demokrasi.

"Jangan mau diadu domba. Di atas itu nggak ada ribut-ribut, mereka bisa makan bersama, duduk bareng. Yang di bawah, juga harus akur," pungkasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.