Dark/Light Mode

Baik Buruk, Dulu Sekarang

Kamis, 19 September 2019 06:02 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Pernah, pada suatu masa, “kiri” di anggap musuh negara. Ketika suasana berubah, giliran “kanan” yang harus diwaspadai. Dulu, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dibreidel. Kalau mau membaca, diam-diam. Nyarinya harus hati-hati. Bisik-bisik.

Pram dihindari karena dia “kiri”. Musuh negara. Pernah dibuang ke Pulau Buru. Sekarang, salah satu bukunya, Boemi Manusia, justru difilmkan. Ditonton banyak orang. Terbuka.

Tak ada yang mengawasi seperti di era Orde Baru. Film Warkop Dono Kasino Indro, juga pernah kena imbas.

Salah satu filmmnya, awalnya berjudul Kiri Ka nan OK, kemudian harus diganti menjadi Kanan-Kiri OK. Karena, kiri tidak boleh di depan. Kanan harus duluan.

Baca juga : Secangkir Kopi BJ Habibie

Sekarang, ada nuansa bahwa kanan di anggap sebagai salah satu yang harus diwaspadai. Yang tertinggi, ada kekhawatiran dicap teroris.

Di Eropa, pada masanya, juga pernah terjadi fenomena seperti ini. Demokrasi Kristen dikategorikan sebagai “kanan”.

Harus diwaspadai. Sekarang, di beberapa negara Eropa, kanan menguat, kiri meredup. Korupsi juga demikian. Pada suatu masa, korupsi pernah dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Sekarang ada kecenderungan “hanya” dianggap sebagai kejahatan serius. Bukan luar biasa. Dulu, koruptor yang mengajukan pembebasan bersyarat harus mau menjadi justice collaborator (JC).

Baca juga : Papua Kondusif, Jangan Lengah

Mau bekerjasama dengan penegak hukum, membongkar jaringannnya. Menyebut siapa saja yang terlibat. Dari A sampai Z. Koruptor yang mengajukan pembebasan bersyarat perlu rekomendasi dari KPK.

Teroris juga demikian. Syaratnya harus mau menjadi justice collaborator. Mau membongkar jaringannya. Ungkap sel-selnya. Semuanya.

Sekarang, tidak lagi. Selasa (17/9) lalu, pemerintah dan DPR sepakat untuk menghilangkan syarat JC dan rekomendasi tersebut. Ajukan saja.

Tak perlu lagi syarat JC atau rekomen KPK. Begitulah. Zaman berubah, sudut pandang berganti. Tidak ada “nilainilai” yang abadi dan mutlak.

Baca juga : OTT Lagi, Untuk Apa?

Yang ada hanya kepentingan abadi. Apalagi dalam politik. Dulu lawan, sekarang kawan. Atau sebaliknya. Ketika “nilai kebaikan” dilakukan oleh kawan, harus didukung.

Ketika nilai-nilai yang sama dilakukan lawan, dihujat. Seorang kawan yang ahli agama kemudian mengingatkan nasihat Sayyidina Imam Ali bin Abi Thalib: Perhatikan ucapannya, jangan memperhatikan siapa yang mengucapkannya.

Terimalah kebaikan walaupun disampaikan orang yang kau benci, tolaklah keburukan walaupun itu disampaikan orang yang kau cinta. Wallahualam. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.