Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Dalam dua bulan terakhir, rupiah tertatih-tatih. Nilainya terseok-seok dilibas dolar AS dan mata uang lain. Sepanjang Agustus 2023 saja, penurunan rupiah terhadap dolar AS mencapai 0,98 persen.
Saat ini, nilai tukar rupiah berada di level 15.600 per dolar AS. Angka ini sudah bertahan hampir sepekan terakhir. Angka ini sama seperti akhir 2022. Angka ini juga sudah sangat dekat dengan level rupiah terlemah pada 1998, yang saat itu mencapai Rp 16.000 per dolar AS.
Melemahnya rupiah jelas memberatkan masyarakat kecil. Sebab, imbas pelemahan ini ke mana-mana. Harga barang-barang yang berasal dari impor otomatis akan naik dengan melemahnya rupiah. Sebab, barang-barang itu dibeli menggunakan dolar AS.
Baca juga : Rupiah Melesat Hadapi Dolar AS Pagi Ini
Yang paling terasa adalah harga BBM. Ketika dolar terus naik, otomatis harga BBM non subsidi naik juga. Per 1 Oktober lalu, kita sudah merasakan, harga Pertamax Cs mengalami penyesuaian yang cukup lumayan.
Melemahnya rupiah juga bisa mendorong kenaikan tarif dasar listrik. Sebab, nilai tukar dan harga minyak dunia merupakan komponen penentuan tarif dasar listrik. Untungnya, Pemerintah sudah memastikan, sampai Desember 2023 tidak akan ada kenaikan tarif listrik.
Atas dasar itu, publik sangat berharap rupiah bisa menguatkan kembali. Namun, fakta yang terjadi sungguh membingungkan. Sebab, saat ekonomi kita kuat saja, rupiah tetap melemah. Apalagi saat ekonomi kita turun, rupiah bisa semakin anjlok.
Baca juga : Rupiah Masih Loyo Hari Ini
Bahkan, saat Amerika Serikat terancam bangkrut, rupiah tetap keok terhadap dolar AS. Padahal, dalam logika awam, saat ekonomi Amerika melemah, seharusnya rupiah menguat. Namun, hal itu tidak terjadi.
Kita mengakui, saat ini mata uang negara lain juga melemah terhadap dolar AS. Namun, penurunan mereka tidak sedalam yang dialami rupiah. Sebagai contoh pada Selasa (3/10). Saat itu, rupiah melemah 0,19 persen. Sedangkan mata uang negara lain, seperti dolar Singapura hanya melemah 0,04 persen, dan yen Jepang hanya 0,05 persen.
Kondisi ini tentu tidak boleh terus dibiarkan. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus segera mencari cara untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Perjanjian untuk “bercerai” dengan dolar AS dalam perdagangan internasional perlu segera diterapkan. Agar kita tidak terlalu bergantung dengan mata uang paman Sam tersebut.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.