Dark/Light Mode

RM.id Rakyat Merdeka - Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang pertarungan para calon dan parpol pendukung. Kini, Pilkada juga menjadi medan tempur bagi para lembaga survei, untuk menentukan yang paling presisi, paling kredibel, dan paling akurat prediksinya.
Di Pilkada ini, pertarungan survei terlihat lebih sengit dibanding Pilkada sebelumnya. Bahkan lebih spartan dibanding Pemilu dan Pilpres.
Di kontestasi politik sebelumnya, perbedaan hasil survei hanya terjadi antara lembaga besar dan lembaga kecil. Untuk lembaga besar, biasanya hasil survei mereka mirip-mirip. Perbedaannya hanya sekitar 1 persen, bahkan ada nol koma sekian.
Baca juga : Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik
Namun, di Pilkada 2024, perbedaan hasil survei terlihat sangat mencolok. Perbedaan terjadi di lembaga-lembaga besar, yang selama ini mereka “berteman” dan menjadi acuan untuk melihat peta politik. Lebih parah lagi, sempat terjadi “gesekan” dan perseteruan antara lembaga besar itu.
Kondisi ini membuat sebagian publik bingung. Bahkan banyak yang mulai curiga. Jangan-jangan, lembaga tertentu sudah dikontrak oleh calon tertentu, sehingga hasil surveinya menguntungkan calon tersebut. Atau mungkin semua lembaga survei sudah dikontrak oleh masing-masing calon. Wallahu’alam.
“Belangnya” lembaga survei pernah dibongkar oleh Darel Huff, penulis asal Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “How to Lie with Statistics”, yang terjemahan bahasa Indonesianya “Berbohong dengan Statistik”. Kecurigaan publik semakin besar karena adanya fakta sebagian lembaga survei merangkap sebagai konsultan politik. Fakta ini bahkan diakui oleh beberapa lembaga survei besar.
Baca juga : Jangan Tunggu Hingga Berguguran
Agar kecurigaan di publik tidak menjadi liar, sebaiknya lembaga survei dapat menjelaskan mengapa hasil penelitian yang mereka lakukan berbeda satu sama lain. Lembaga survei harus mampu menjelaskan metodologi dan metode pengambilan sampel dalam survei yang mereka lakukan. Mereka harus memastikan kepada publik bahwa sampel yang dicuplik tidak bias, sebarannya sesuai demografi, dan benar-benar mewakili populasi.
Jadi, dalam rilis hasil survei yang dilakukan, lembaga itu tidak hanya menampilkan angka-angka bahwa calon tertentu unggul. Tampilkan juga secara gamblang metodologi yang mereka gunakan, sampel-sampel yang mereka cuplik, berikut sebaran dari sampel tersebut. Dengan begitu, publik dapat tercerahkan, bahwa perbedaan hasil survei adalah hal yang wajar karena adanya perbedaan metodologi dan cara pengambilan sampel.
Untuk menentukan akurasi dan kepresisian lembaga survei, memang belum bisa dilakukan saat ini. Kita baru bisa menilai dengan hasil quick count mereka, yang dilakukan setelah pencoblosan nanti. Jika hasil quick count lembaga-lembaga survei itu mendekati hasil penghitungan yang dilakukan KPU, reputasi mereka akan tetap terjaga. Tapi jika melenceng jauh, seperti halnya satu lembaga survei pada Pilpres 2014, kepercayaan publik akan hilang ke lembaga tersebut.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.