Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Pelajaran Li Wenliang

Minggu, 9 Februari 2020 04:29 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Dokter Li Wenliang yang membunyikan alarm virus corona, meninggal dunia, Jumat (7/2) lalu. Dokter mata berusia 34 tahun yang pertama mengingatkan bahaya virus, tapi tidak digubris aparat tersebut, menjadi martir bagi kebebasan berpendapat di China.     

Akhir Desember lalu, lewat grup WA alumni, Li mengingatkan adanya virus tersebut. “Beritahu keluarga untuk berjaga-jaga,” tulis dokter yang bertugas di rumah sakit pusat Wuhan, ibukota Provinsi Hubei tersebut.     

Tapi, oleh polisi dia justru dianggap menyebarkan berita hoaks. Tuduhan lainnya, “mengganggu ketertiban umum”. Dokter Li kemudian ditahan bersama tujuh dokter lainnya.     

Jumat, dua hari lalu, Li meninggal setelah tertular virus corona dari pasien mata yang dirawatnya.

Baca juga : Timpang, di Mata Dennis dan Lowy

Tragedi ini menjadi pelajaran bahwa ketika pencitraan dikedepankan, taruhannya sungguh sangat mahal.     

Hanya karena ingin berita ini tidak tersebar, aparat kemudian membungkam Li. Melarangnya berbicara dan berdiskusi soal virus tersebut. Dia juga dipaksa untuk mengaku salah. Dipaksa mengakui telah melakukan hal-hal yang melanggar hukum.  

Stabilitas memang penting, tapi objektivitas dan kebenaran serta kepentingan masyarakat tetap jauh lebih penting.     

Kalau saja peringatan dokter Li direspons dengan baik dan cepat, kalau saja dia tidak dianggap sebagai orang yang “melawan ketertiban umum”, antisipasinya pasti lebih cepat, tepat, dan lebih baik.

Baca juga : Menangkal Hoax Corona

Ini mungkin bukan semata-mata bukan salah aparat yang menginterogasi dan menahan Li. Tapi sistemnya. Sistem yang telah merasuki aparat sampai tingkat bawah. Atau, penerapan perintah yang melampaui batas.     

Terkadang, ketika atasannya berkata “ambil langkah sesuai prosedur hukum,” maka bawahannya mengambil langkah berlebihan dan membahayakan. Terkadang juga, atasannya sudah mengerti langkah apa yang akan diambil anak buahnya, tapi memilih bermain aman.     

Li dan masyarakat China, juga masyarakat internasional kemudian menjadi korbannya. Akibat kasus dokter Li, pemerintah China juga menghadapi tuntutan rakyatnya supaya tidak mengekang kebebasan berpendapat. Ada perlawanan masif yang diekspresikan di media sosial.     

“Kita akhirnya tahu bahwa yang membunuh bukanlah kelelawar,” kata seorang netizen di China. “Virus telah menyusup ke orang-orang yang berada di ketinggian,” kata yang lainnya. “Mereka yang tidak akan membiarkanmu berbicara juga tidak akan membiarkanmu hidup,” curhat yang  lainnya.

Baca juga : Figur 2024, Masih "Sersan"

Menurut New York Times, tagar #WeWantFreedomOfSpeech, menggema di Weibo, semacam Twitternya China. Tagar tersebut muncul pada hari Jumat, pukul 2 dini hari dan langsung memiliki lebih dari 2 juta tampilan dan lebih dari 5.500 posting pada jam 7, sebelum dihapus oleh sensor.     

Tagar lain, seperti dilaporkan Financial Times, “Pemerintah Wuhan berutang permintaan maaf kepada Li Wenliang,” dilihat 180 juta kali pada Kamis malam sebelum diblokir oleh sensor pemerintah.     

Kita akhirnya tahu: Melawan hoaks, penting. Tapi, menutup kebenaran, bisa jauh lebih berbahaya.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.