BREAKING NEWS
 

Catatan Antonius Benny Susetyo

Masihkah Politik Identitas Menjadi Ancaman?

Reporter & Editor :
UJANG SUNDA
Minggu, 16 Oktober 2022 12:01 WIB
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo (Foto: Dok. BPIP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Politik Indonesia bertumbuh sangat pesat pasca-gerakan reformasi yang bergelora pada tahun 1998. Sejak tahun tersebut, Indonesia ditandai masuk pada era reformasi, yang terus berjalan sampai pada saat ini. Perubahan-perubahan terjadi, termasuk Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatur posisi dari para lembaga tinggi negara, dan terkhusus, ketentuan-ketentuan yang menjadi pondasi peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilihan umum.

Tahun 2024 adalah tahun politik untuk Indonesia. Tahun 2024 juga menandakan berakhirnya kesempatan bagi Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk kembali mencalonkan diri. Hal ini membuka peluang lebih luas untuk adanya figur dan sosok baru yang dapat mengisi posisi sebagai pemimpin bangsa dan negara Indonesia tersebut. Partai politik bergeliat, baik dengan dan tanpa ekspos dari media, untuk mempersiapkan diri menyambut tahun politik ini. Persiapan yang paling menjadi perhatian dari media dan masyarakat adalah perihal calon presiden yang akan diberikan oleh partai-partai politik kepada masyarakat.

Beberapa gerakan yang mengindikasikan akan dilakukannya koalisi antar partai politik pun sudah terlihat. Beberapa tokoh nasional yang sering digadang-gadang menjadi calon presiden banyak melakukan kegiatan yang sudah diliput; bahkan banyak dari tokoh-tokoh tersebut menggunakan media sosial untuk menyuarakan profil tentang diri mereka kepada masyarakat luas.

Banyak survei dilakukan oleh media dan pihak-pihak penyelenggara survei menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan sebuah jangka waktu yang luas dan besar agar masyarakat dapat melakukan fit and proper test pada para calon presiden dan calon wakil presiden yang ditawarkan oleh partai politik (parpol) untuk tahun pemilu 2024. Namun, sejarah menyatakan bahwa koalisi atau pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden untuk tahun-tahun pemilu yang sudah dilewati baru diumumkan pada saat waktu mendesak (injury time), sehingga masyarakat tidak memiliki waktu yang luas untuk melakukan rekam jejak dan meneliti calon-calon tersebut, apakah benar sesuai dengan visi misi yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut jajak pendapat Kompas, masyarakat mengharapkan koalisi yang benar diumumkan pada tahun 2022, sehingga terdapat kurun waktu satu tahun untuk masyarakat mencari tahu dan mempelajari para calon serta parpol yang mengusung mereka.

Baca juga : Partai Garuda: Jangan Tunggu UU Pemilu, Segera Bersihkan Kelompok Politik Identitas!

Kompromi menjadi salah satu komponen yang menentukan kestabilan politik. Dapat dilihat, isu yang dapat menyatukan parpol untuk membentuk koalisi adalah saat kepentingan-kepentingan parpol dapat terakomodir dalam koalisi tersebut. Parpol harus dapat berkompromi untuk mencapai sebuah titik temu dalam menciptakan koalisi. Itulah sebabnya mengapa pengumuman perihal koalisi menjadi sangat mendesak. Parpol harus melakukan musyawarah mufakat untuk mendapatkan konsensus dalam membentuk koalisi. Koalisi-koalisi yang sudah terjadi tidak seharusnya langsung dipercayai sebagai sebuah endgame; publik sudah melihat dan publik sudah belajar—walaupun memiliki keinginan agar jangka waktu pengumuman koalisi panjang dan cukup—bahwa parpol memiliki semboyan ‘saya dapat apa’, sehingga segala sesuatunya bisa berubah secara drastis dan dalam tempo waktu yang singkat.

Sebuah fenomena yaitu permainan politik dan kekuasaan, terjadi jelas di Indonesia. Sudah banyak permainan tersebut dipertontonkan kepada masyarakat luas secara gamblang dan tidak malu-malu. Tanpa rasa bersalah, elite politik menepuk dada, menyatakan mereka berjuang demi rakyat, di saat ambisi mereka hanya berorientasi kepada ‘asal aku menang’, tanpa menyadari bahwa masyarakat menjadi tumbal dari ambisi tersebut. Politik identitas, pada tahun-tahun belakangan ini, sering digunakan untuk mendompleng suara dari masyarakat.

Elite politik yang mempertontonkan arah yang semakin tidak menentu dan tidak sesuai dengan cita-cita bangsa memberikan sebuah rasa pahit di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak peduli dan tumbuh menjadi masyarakat yang hanya menerima, tanpa banyak berpikir, karena tidak lagi diberikan sebuah panggung demokrasi yang mampu melahirkan tokoh dan gagasan yang benar-benar mampu membangun dan mengembangkan bangsa dan negara Indonesia. Malahan, politik identitas dipakai betul menjadi alat menaikkan popularitas. Padahal, jika digali lebih dalam, masyarakat sendiri merindukan sebuah panggung politik yang membangun dan memberikan ruang kepada mereka untuk belajar dan menjadi penikmat politik yang cerdas dan bermartabat.

Adsense

Namun, perlu dipertanyakan: mengapa para elite politik mempertontonkan hal yang membuat masyarakat menjadi pragmatis? Mengapa hasrat untuk merebut kekuasaan sangat diperlihatkan secara gamblang dan tanpa malu-malu? Mengapa dengan mudahnya mereka mempertontonkan politik identitas yang dapat memecah belah masyarakat? Jawabannya: rakyat hanya tetap dijadikan lip service, sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya, yaitu masa Orde Baru.

Baca juga : Bahlil Kasih Motivasi Menjadi Pemimpin

Banyak negosiasi, aliansi, koalisi, dan pembentukan poros, serta berbagai penjajakan politik diajukan berbagai kelompok atas nama rakyat. Namun, saat ambisi sebenarnya berpijak kepada politik kekuasaan, kelompok yang sebelumnya berseberangan bisa dengan mudah bertemu dan berkoalisi karena atas nama ‘momentum politik’, dan sebaliknya, jika ada kelompok yang sebelumnya menjadi klop dan bersama-sama, akan bisa tercerai dengan mudahnya.

Hal ini melahirkan sebuah kesan kepada publik, bahwa parpol di Indonesia bukan membela kepentingan rakyat dan negara Indonesia, tetapi kepada kepentingan masing-masing dan kelompok mereka sendiri. Mereka ingin selalu berada di posisi yang menguntungkan, bahkan, jika perlu, menggunakan cara yang dapat merugikan kelompok lainnya. Maka karena itu, tidak pernah ada satupun partai politik di Indonesia, dalam sejarahnya, yang tercatat benar-benar menjadi oposisi dan melakukan posisi oposisi dengan sebenar-benarnya.

Partai politik yang mempertontonkan politik pragmatisme ini pun akhirnya melahirkan masyarakat yang pragmatis. Politik pragmatis menyebabkan dengan mudahnya para elite ‘melompat’ partai politik ataupun koalisi tanpa memperdulikan idealisme dan gagasan berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umum. Idealisme membela rakyat hanya sebuah kata pemanis di bibir dan tidak pernah terbukti dalam kenyataan.

Dalam konteks ini, visi politik dapat berubah drastis bila tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Yang menjadi penting di benak adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, seperti keuntungan ekonomi semata saja, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Mental elite politik seperti kaum pedagang. Politik yang seharusnya adalah upaya untuk menata kehidupan bersama lebih baik, diabaikan. Kelompok selalu berpikir bagaimana menjatuhkan kelompok lainnya. Dan yang lebih menggelikan, setiap kelompok merasa sangat yakin bahwa dirinyalah yang dapat menyelesaikan persoalan Indonesia sendiri.

Baca juga : Mengindonesiakan Pemikiran Keagamaan

Politik yang dipertontonkan adalah politik yang identic dengan keuntungan, dengan uang dan kekuasaan. Politik tidak lagi dijalankan dengan hati Nurani dan menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam. Ini sangat bisa dilihat pada kontestasi politik beberapa tahun belakangan: masyarakat dipecah sedemikian rupa demi mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya. Perpecahan dengan mengutamakan politik identitas memang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi perpecahan ini membuat harga mahal harus dibayar oleh bangsa Indonesia sendiri. Masyarakat berseteru, padahal para elit politik malah dapat tiba-tiba berkoalisi dan erat berdampingan walau sebelumnya seperti memiliki pemikiran dan idealisme yang berseberangan, yang menjadikan rakyat itu terpecah.

Para elite seperti penampil sirkus yang mempertontonkan tipu muslihat yang membuai penonton, yakni masyarakat. Elite politik seharusnya mampu memegang teguh gagasan keutamaan publik dalam perjuangan negara ini. Para pemimpin dan elite politik harus memiliki kesadaran penuh menjadi pelayan bagi bangsa dan negara Indonesia. Mereka harus mampu menawarkan agenda yang jelas bagi perubahan masyarakat. Mereka harus sadar politik bukan alat berkuasa semata, tetapi alat menggunakan hati nurani. Berpolitik harus menghasilkan gagasan dan ide yang mampu membangun masyarakat. Dalam menyongsong tahun politik 2024 ini, baiklah kiranya para elit politik memperlihatkan politik yang berkelas, bermartabat, dan tidak haus kekuasaan dan uang semata. Dan biarlah koalisi-koalisi yang terjadi menjadi sebuah batu penjuru kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia, di tengah kondisi global yang semakin tidak menentu ini, bukan malah memecah belah bangsa dengan memainkan kembali politik identitas.■

Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense