Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Menghemat Politik Identitas (30)

Mengelola Bahasa Agama

Rabu, 14 September 2022 06:30 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Suatu ketika Nabi akan memimpin shalat magrib, tiba-tiba salah seorang makmum kentut. Baunya sangat menusuk hidung. Nabi menunda takbir ihram lalu berbalik meminta sa­habat yang kentut supaya segera keluar mengambil air wudhu. Rupanya orang-orang Arab waktu itu juga malu dan tidak mau ketahuan dirinya yang kentut. Sesungguhnya Nabi bisa saja menunjuk batang hidung sahabatnya yang kentut tetapi ia tidak ingin mempermalukan seseorang di depan umum. Berkali-kali Nabi meminta orang yang kentut agar keluar mengambil air wudhu tetapi tidak juga ada yang keluar.

Baca juga : Politik Shalat Jamaah (2)

Bau kentut itu tercium bagaikan bau daging unta, karena memang sorenya ada pesta di rumah salah seorang sahabat yang menyuguhkan daging unta. Waktu magrib sangat singkat diband­ing waktu-waktu shalat lainnya. Akhirnya Nabi menggunakan bahasa diplomasi: “Siapa yang makan daging unta silakan keluar berwudhu”, maka semua jamaah yang hadir dalam undangan pesta tadi ramai-ramai keluar berwudhu.

Baca juga : Politik Shalat Jamaah (1)

Kalau hadis ini dipegang hanya teksnya: “Siapa yang makan daging unta harus mengambil air wudhu”, tidak dihubungkan dengan konteksnya, maka maknanya sangat berbahaya. Bisa be­rarti unta itu najis karena membatalkan wudhu. Malapetaka bagi masyarakat padang pasir ketika itu jika unta dinyatakan najis. Satu-satunya alat transportasi efektif ketika itu ialah unta. Jika dinyatakan najis atau membatalkan wudhu bagi memakan atau menyentuhnya, sama dengan anjing atau babi, maka tentu merugikan umat.

Baca juga : Mencegah Permufakatan Jahat

Di sinilah pentingnya mengkritisi sebuah dalil. Apakah teks dalil agama itu memiliki historical back ground atau tidak? Apakah menggunakan lafaz umum atau khusus? Kalau hadis, apakah tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an? Apakah teks dalil agama itu sudah di-mansukh atau dihapus hukumnya lalu digantikan hukum lain dalam dalil lain? Bagaimana kualitas kesahihan dalil agama (hadis) itu? Dan yang tak kalah pentingnya ialah apa konteks munasabah dalil agama itu? Setelah mamahami ini semua baru kita mende­klarasikan maksud dalil agama itu kepada publik.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.