Dark/Light Mode
- Pebulutangkis Muda Indonesia Syabda Perkasa Wafat Usai Kecelakaan
- Ini Sederet Prestasi Almarhum Syabda Perkasa Belawa
- Awal Pekan, Rupiah Masih Kurang Tenaga
- Dubes RI Untuk Inggris Desra Jamu Dan Semangati Tim Indonesia Di All England
- Incar Pasar Anak Muda, Bank Mandiri Relaunching Kartu Kredit Khusus Pegolf

Tausiah Politik
RM.id Rakyat Merdeka - Sebuah hadis riwayat Abu Burdah, dari Abu Musa, mengatakan: Aku bersama dengan dua dari anak pamanku (sepupu sekali) telah menemui Nabi. Lalu salah satu dari keduanya mengatakan: Wahai baginda Nabi, angkatlah kami sebagai pejabat dari beberapa jabatan yang diberikan oleh Allah padamu. Nabi mengatakan: Demi Allah, kami tidak mengangkat/memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya atau yang optimis terhadapnya. (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam kitab Musannaf Ibni Abi Syaibah).
Dalam hadis lain riwayat Abu Dzar dikatakan: Wahai baginda Nabi, angkatlah aku sebagai pejabat, lalu ia mengatakan: Nabi memukulkan tangannya ke pundakku sambil mengatakan: “Wahai Abu Dzar, aku melihatmu sangat lemah, dan sesungguhnya yang engkau minta itu adalah amanah; dan sesungguhnya hal itu di Hari Kemudian adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali yang mengambil/menjabatnya karena layak dan menunaikannya dengan baik dan sempurna. (HR. Muslim, dalam kitab Sahih Muslim, Jilid 6, halaman 6).
Berita Terkait : Menghindari Tasyaddud Dan Ghuluw
Kedua hadis di atas cukup tegas, Nabi menolak permintaan jabatan berdasarkan hubungan kekeluargaan. Termasuk Abu Dzar al-Gifari yang dikenal sangat dekat dengan Nabi. Ketika ia meminta jabatan, Nabi dengan tegas menolak permintaan sahabatnya seolah tanpa beban, dengan menunjukkan kelemahan yang dimiliki sahabatnya.
Berani berkata “tidak” kepada orang terdekat, tentu itu sulit, tetapi bagi Nabi dengan tegas menyatakannya. Ini contoh teramat penting bagi pejabat tinggi yang akan menentukan posisi penting dalam struktur kepemimpinannya.
Berita Terkait : Islam Sebagai Agama Terbuka
Nabi tidak pernah mengangkat seorang pejabat berdasarkan kekerabatan atau kolega, tetapi betul-betul berdasarkan profesionalisme. Bukan berarti Nabi tidak mempunyai keluarga atau kolega, tetapi Nabi menyerahkan urusan kepemimpinan itu kepada sebuah mekanisme secara profesional. Nabi seolah malu berbicara sebuah jabatan dihubungkan dengan anggota keluarga.
Memang Nabi tidak mempunyai anak laki-laki dewasa, karena putranya Ibrahim meninggal saat masih kecil. Akan tetapi, anak pamannya banyak, hanya Nabi tidak pernah memberikan jabatan itu karena pertimbangan keluarga. Pejabat yang ditunjuk sebagai gubernur di beberapa provinsi pun bukan dari keluarga dekatnya.
Berita Terkait : "Masuklah Melalui Pintu Yang Berbeda-beda"
Tidak heran ketika Nabi wafat muncul persoalan krusial, karena Nabi tidak pernah memberikan fatwa atau isyarat siapa nanti yang anak menggantinya saat ia sudah tiada.
Selanjutnya