Dark/Light Mode

Penerapan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

Senin, 15 Mei 2023 22:37 WIB
Taruna Utama Terry Urick Orisu (Foto: Dok. Pribadi)
Taruna Utama Terry Urick Orisu (Foto: Dok. Pribadi)

Tindakan kejahatan dengan pelaku kejahatan anak terus meningkat. Penyatuan kembali anak di luar lingkungan keluarga sangat mempengaruhi perubahan karakter awal anak, sehingga peran orang tua dalam pendidikan anak merupakan tugas yang sangat penting. Ketika peran orang tua dalam mengasuh anak tidak optimal, menyebabkan anak melakukan perbuatan yang tidak normal dan melanggar hukum.

Anak yang dinyatakan sebagai pelaku dalam perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Tahun 1997 menjadi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), menyatakan bahwa anak yang memiliki konflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak berumur 12 tahun tetapi belum genap 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Menurut Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada Mei 2003, terdapat 3.004 anak yang berakhir di penjara dan pusat penahanan negara di seluruh negeri. Perlakuan terhadap kasus anak sebagai pelaku dalam berbagai jumlah dan bentuk telah mendorong pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap hal tersebut. Salah satunya adalah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perundang-Undangan Peradilan Anak yang kini menjadi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak. Pemerintah berniat mengubah UU Sistem Peradilan Anak sebagai upaya untuk lebih membela hak-hak berdasarkan hukum bahkan dengan anak-anak sebagai pelakunya. Setiap pidana yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana harus sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, hidup dan berkembang, serta penghormatan terhadap pandangan anak.

Baca juga : Jokowi Minta Dibuat Sistem Terpadu Tangani Investasi Di IKN

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pelaksanaan upaya diversi wajib di setiap tingkat pemeriksaan dan dilakukan dengan cara musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan Keadilan Restoratif. Tentunya diversi ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing masing yang perlu dianalisis lebih dalam. 

Teori SWOT melihat, diversi peradilan anak tidak hanya untuk mencari sanksi pidana terhadap anak yang melakukan kejahatan, tetapi lebih menitikberatkan pada anggapan bahwa penuntutan saksi merupakan sarana untuk membantu kegiatan peradilan pidana kesejahteraan anak yang melakukan kejahatan terhadap mereka. Contohnya adalah kasus pembunuhan berencana terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Langkat dan kemudian disahkan dengan hukuman penjara 10 tahun. Kasus-kasus ini dapat menggambarkan bahwa banyak anak terus bermasalah dengan hukum dan dituntut. Sejak usia dini, anak-anak ini harus menyaksikan proses persidangan pidana yang panjang dan menegangkan, mulai dari penyidikan oleh polisi, pengejaran oleh kejaksaan, persidangan oleh hakim di pengadilan, hingga eksekusi atas vonis hakim. Karena kejaksaan memiliki kekuatan hukum untuk melakukan penangkapan dari tahap penyidikan, situasi penangkapan menimbulkan beban psikologis dan tekanan psikologis yang harus dihadapi terdakwa di pengadilan. 

Pelaksanaan pedoman tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindari dampak negatif psikologis dan perkembangan anak dari keikutsertaan dalam sistem peradilan pidana. Dalam penyelesaian perkara anak yang melanggar hukum harus diutamakan cara-cara keluarga, antara lain melalui prioritas Sistem Peradilan Anak, selanjutnya Sistem Pidana, UU Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 angka 7 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di sisi lain, diversi mengubah penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana menjadi di luar peradilan pidana.

Baca juga : Menpora Dito Pede Program Kewirausahaan Pemuda Genjot IPP

Dalam analisis weakness, dapat dilihat bahwa diversi memiliki kekurangan, yaitu bila kesepakatan diversi tidak tercapai maka proses peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum akan dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU Nomor 11 Tahun 2012. Dalam menangani perkara pidana anak, para penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Sistem peradilan pidana tersebut mulai dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.

Dalam analisis Opportuniti, memperlihatkan bahwa diversi secara tegas disebut dalam Pasal 5 ayat (3) UU SPPA bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Pasal 8 ayat (1) UU SPPA juga telah mengatur bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja professional berdasarkan pendekatan restorative justice. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama di samping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.

Dalam analisis threat, ada hambatan lalu lintas, yaitu H tidak memiliki dasar umum untuk orientasi tidak ada kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan tersebut tidak terjadi karena korban meminta sejumlah uang yang besar dari pelaku, namun pelaku tidak dapat menyetujui jumlah uang tersebut, pelaku sendiri menawarkan untuk membayar sejumlah kerugian yang diderita oleh korban, karena pelaku tergolong keluarga sederhana, sehingga pelaku tentu saja tidak mampu membayar uang yang sangat besar. Namun, korban menolak tawaran tersebut dengan alasan jika tidak mau membayar sesuai dengan permintaan korban maka kasus akan dilanjutkan ke tahap persidangan. Dalam proses sirkular ini, tidak ada kesepakatan yang dicapai antara para pihak. Dan mau tidak mau kasus tersebut akan berlanjut ke tahap persidangan. Oleh karena kendala tersebut baik hakim pengadilan anak maupun Pengadilan Negeri Blitar tidak berusaha mengatasi kendala tersebut, sehingga apabila upaya terakhir tidak berhasil maka perkara tersebut akan segera dibawa ke pengadilan. .

Baca juga : Indonesia Dan Vietnam Sepakati Kerja Sama Pemanfaatan Ruang Digital ASEAN

Banyaknya kasus anak di luar hukum tentu sangat memprihatinkan mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi oleh negara dan semakin banyaknya kasus yang anak tersebut melakukan kejahatan dengan berbagai cara harus segera ditangani. Dalam pencegahan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak, biasanya keluarga merupakan pihak pertama yang banyak mengasuh anak. Ketika anak lahir, keluarga langsung menyambut anak dan memberikan layanan interaktif, sebagian besar waktu anak biasanya dihabiskan bersama keluarga, sehingga hubungan orang tua dan anak berbeda dengan hubungan anak dengan pihak lain seperti guru, teman, dan lain-lain.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.