Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
- Pebulutangkis Muda Indonesia Syabda Perkasa Wafat Usai Kecelakaan
- Ini Sederet Prestasi Almarhum Syabda Perkasa Belawa
- Awal Pekan, Rupiah Masih Kurang Tenaga
- Dubes RI Untuk Inggris Desra Jamu Dan Semangati Tim Indonesia Di All England
- Incar Pasar Anak Muda, Bank Mandiri Relaunching Kartu Kredit Khusus Pegolf
Peraturan Label Kemasan Pangan Harus Perhatian Dampak Sosial-Ekonomi
Jumat, 3 Desember 2021 12:40 WIB

RM.id Rakyat Merdeka - Perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus mempertimbangkan pandangan-pandangan dari para stakeholder yang terdampak oleh kebijakan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) yang mengakomodasi semua pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan perubahan tersebut.
Demikian benang merah diskusi yang bertajuk “Regulasi Kemasan Pangan dan Dampaknya pada Iklim Usaha dan Perekonomian”, yang dilakukan secara daring, Kamis (2/12). Diskusi ini menghadirkan Asisten Deputi Pangan Kemenko Perekonomian Muhammad Saifulloh; Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo; Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat; pakar kebijakan publik Agus Pambagio; dan Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Dr Alamsyah Azis, sebagai narasumber.
Muhammad Saifulloh menyampaikan, Perubahan Peraturan BPOM soal Label Pangan Olahan ini harus memperhatikan misi Presiden 2020-2021 terkait struktur ekonomi yang produktif dan mandiri, serta berdaya saing serta pembangunan yang merata dan berkeadilan. Selain itu, juga dua dari tujuh agenda pembangunan, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, serta mengambangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan.
Berita Terkait : KLHK Perkuat Peluang Ekspor Kopi Hasil Perhutanan Sosial Di Turki
Menurut Saifulloh, sebelum mengeksekusi perubahan peraturan terkait pelabelan pangan olahan itu, BPOM harus menyampaikan terlebih dulu presentasinya kepada publik. “Saya pikir nggak bisa serta merta Badan POM secara sendiri mengeksekusi regulasi itu. Mereka juga harus melihat keseimbangan usaha. Apalagi saat ini masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Edy Sutopo. Dia mengatakan, selain masalah kesehatan, perubahan Peraturan BPOM soal label pangan olahan harus juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Dari aspek ekonomi, BPOM harus melihat bagaimana pengembangan industri yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional. “Tentunya dalam hal ini kita perlu menjaga daya saing melalui menjaga iklim usaha yang kondusif bagi industri,” ujarnya.
Dia menerangkan, kontribusi industri pangan dan minuman sangat besar terhadap perekonomian nasional. Pada triwulan III-2021, kontribusi industri pangan dan minuman terhadap PDB sebesar 3,49 persen (yoy) dan kontribusi terhadap PDB industri non migas mencapai 38,91 persen (yoy).
Berita Terkait : Bidik Pelaku Pasar, Tabungan Emas Pegadaian Kini Tersedia Di Aplikasi Bareksai
Ekspor makanan dan minuman juga sangat besar. Sampai dengan September 2021, mencapai 32,51 miliar dolar AS atau setara Rp 468 triliun. Impornya juga sangat tinggi, mencapai 10,13 miliar dolar AS atau setara Rp 145 triliun. “Saya kira investasi yang ada ini perlu dijaga bisa tumbuh dan berkembang untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang kita harapkan,” ujarnya.
Sementara, Rachmat Hidayat menyampaikan, industri air minum dalam kemasan (AMDK) keberatan terhadap rencana perubahan Peraturan BPOM terkait label pangan olahan ini. Menurutnya, jika mau melakukan pelabelan, BPOM harus melakukannya untuk semua produk pangan. Dia merujuk kepada Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan dan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. “Jadi, BPOM harus membuat kebijakan atas dasar keadilan dan kesetaraan, harus mengatur semua pangan olahan dan tidak hanya AMDK,” ujarnya.
Dia menuturkan, jika rencana revisi peraturan label pangan itu jadi diwujudkan, industri AMDK, khususnya yang memproduksi galon guna ulang, akan mengalami kerugian sampai Rp 36 triliun per tahun. “Mungkin industri ini sebagian besar akan tutup. Tidak itu saja, jika semua produsen mengubah produknya menjadi galon sekali pakai, ini akan menimbulkan masalah lingkungan hidup,” tuturnya. [USU]
Tags :
Berita Lainnya