Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
RM.id Rakyat Merdeka - Kalangan pelaku industri hilir kelapa sawit optimis dengan produksi dan permintaan yang akan tumbuh di tahun ini. Permintaan ini bersumber dari pulihnya kegiatan perekonomian masyarakat di tengah pandemi.
“Tahun ini, konsumsi sawit di sektor makanan akan tumbuh 3,8 persen dibandingkan 2021. Faktor pendorong berasal dari mobilitas masyarakat yang semakin tinggi setelah redanya Covid-19. Bisnis juga sudah membaik,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga saat buka bersama dengan media, Senin (18/4) malam.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), dan Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN). Hadir dalam acara ini antara lain Paulus Tjakrawan (Ketua Harian APROBI) dan Rapolo Hutabarat (Ketua Umum APOLIN).
Konsumsi minyak sawit untuk segmen makanan di tahun ini diperkirakan 7,2 juta ton atau tumbuh 3,8 persen dari 2021 sebesar 6,94 juta ton. Pemakaian sawit di segmen makanan tahun ini terdiri dari 882 ribu ton untuk margarin, 850 ribu ton untuk shortening & specialities fats, 1,2 juta ton untuk minyak goreng curah, 2,29 juta ton untuk curah, dan 1,91 juta ton untuk industri.
Sahat mengatakan, persoalan kelangkaan minyak goreng ini perlu diantisipasi di masa depan agar tidak lagi terulang. Salah satu penyebabnya adalah minyak goreng tidak termasuk 10 komoditi pangan nasional. “Seharusnya minyak goreng masuk ke dalam komoditi pangan nasional yang didukung aturan jelas,” ungkapnya.
Baca juga : Peran Energi Hijau Terhadap Masa Depan Indonesia
Persoalan lain adalah pemerintah tidak konsisten dalam pelarangan minyak goreng curah. Sahat menguraikan seharusnya minyak goreng curah sudah dilarang semenjak 2022. Tetapi kebijakan larangan minyakg goreng curah dihapuskan. Kementerian Perdagangan setelah itu mengeluarkan Permendag Nomor 72/2021 yang memperbolehkan minyak goreng curah untuk jalan terus.
Di sektor biodiesel, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) tetap berkomitmen mendukung mandatori biodiesel bauran 30 persen atau B30 sesuai regulasi pemerintah. Pada 2021, jumlah alokasi penyaluran B30 sebesar 10.257.952 Kl. Selanjutnya alokasi penyaluran tahun ini sebesar 10.151.018 Kl.
“Untuk kebutuhan domestik maka besaran volume dan wilayah pasokan mengikuti aturan Keputusan Menteri ESDM Nomor 150/2021. Jadi kebijakan biodiesel ini berdasarkan kepada regulasi dan aturan yang ditetapkan pemerintah,” tutur Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan.
Ia mengatakan, produsen biodiesel ibarat tukang jahit yang menerima jasa. Tidak ada insentif dan subsidi yang diterima produsen biodiesel karena biodiesel dibeli dengan harga keekonomian. Besaran harga indeks biodiesel diatur oleh Peraturan Menteri ESDM.
Konsistensi program biodiesel berdampak positif kepada iklim investasi. Paulus menuturkan pembangunan pabrik biodiesel terus meningkat sampai tahun ini, jumlah kapasitas terpasang produksi biodiesel mencapai 16,6 juta Kl.
Baca juga : Lazada Foundation Bina Talenta Muda Di 6 Pasar Asia Tenggara
“Sudah ada 2 sampai 3 investor yang berminat untuk membangun pabrik biodiesel baru,” kata Paulus.
Ketua Umum APOLIN, Rapolo Hutabarat menuturkan, pasar ekspor oleokimia terus meningkat sepanjang lima tahun terakhir. Pada 2019, volume ekspor oleokimia mencapai 3,22 juta ton dengan nilai 2,04 miliar dolar AS. Volume ekspor kembali naik menjadi 3,77 juta ton dengan nilai 2,77 miliar dolar AS pada 2020. Sepanjang 2021, volume ekspor tumbuh menjadi 4,2 juta ton dan nilainya 4,4 miliar dolar AS.
“Pada 2022, ekspor ditargetkan naik menjadi 4,4 juta-4,7 juta ton. Nilai ekspornya diperkirakan menjadi 4,7 miliar dolar AS,” urai Rapolo.
Negara tujuan utama pasar ekspor oleokimia adalah Tiongkok, India, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Kendati demikian, kata Rapolo, produk oleokimia Indonesia menghadapi tuduhan subsidi dari India. Itu sebabnya, asosiasi bersama pemerintah berupaya menjawab isu ini supaya Indonesia tidak kehilangan pasar ekspor oleokimia di India.
“Jika Indonesia kalah akan kehilangan potensi pasar oleokimia di India mencapai Rp 8 triliun,” urainya.
Baca juga : Jebolan HUB.ID Kolaborasi Dan Peroleh Pendanaan
Di Eropa, tuduhan dumping juga dialamatkan kepada produk oleokimia Indonesia. Saat ini, dikatakan Rapolo, asosiasi berupaya menjawab tuduhan tersebut di World Trade Organization (WTO) sampai 2024. APOLIN juga menggandeng kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.
Rapolo juga menuturkan industri oleokimia meminta komitmen pemerintah terkait harga dan alokasi gas. Dalam PERPRES No. 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi bahwa industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang mendapatkan harga gas sebesar 6 dolar AS per MMBTU.
Tetapi, ada persoalan berkaitan kepatuhan pemasok gas untuk memberikan harga sesuai Perpres 121/2020. Menurut Rapolo, pasokan gas yang diberikan harga senilai 6 dolar AS per MMBTU hanya sebesar 80 persen dari total kebutuhan. Sisanya 20 persen pasokan gas dijual sesuai harga komersil di luar aturan.
“Pasokan gas ini sangat penting bagi daya saing industri oleokimia. Kami harapkan pemerintah dapat menyelesaikan persoalan harga gas ini,” pungkas Rapolo. [DIT]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya