Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
- Kejuaraan Anggar Asia 2025 Wujud Nyata Kolaborasi Olahraga dan Pariwisata
- Ramos Jagokan El Real Juara Piala Dunia Antarklub 2025
- Borussia Dortmund Tertahan, River Plate Bantai Wakil Jepang
- Singo Edan Gercep Konsolidasi Sambut Liga 1
- Gunung Lewotobi Laki-laki Naik Ke Level IV, Jauhi Radius 7 Km Dari Pusat Erupsi
Menperin Beberkan Dampak Krisis Global Bagi Industri Nasional
Rabu, 31 Agustus 2022 12:59 WIB

RM.id Rakyat Merdeka - Industri nasional tengah menghadapi tantangan global, yang di antaranya bersumber dari dampak perang Rusia dan Ukraina. Akibatnya terdapat dua persoalan utama, yakni krisis pangan dan krisis energi.
“Terkait dengan krisis pangan, perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan munculnya tiga isu, yaitu berkurangnya pasokan komoditi pangan seperti gandum dan minyak nabati,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Rabu (31/8).
Isu kedua adalah munculnya fenomena proteksionisme negara-negara di dunia untuk mengamankan stok pangan domestik. Contohnya, India menghentikan ekspor gandum. Ketiga, peningkatan konversi komoditas pangan menjadi bahan baku energi. Ketiga isu tersebut mengakibatkan kenaikan index harga komoditi pangan global sebesar 32,5 persen (YoY) berdasarkan laporan World Bank Juni 2022.
Baca juga : Pemerintah Dorong Efesiensi Airworthy For Flight Pada Industri Aviasi Nasional
Dalam kaitan hal itu, Menperin menyampaikan bahwa pasokan bahan baku industri pangan dalam negeri akan terjamin. “Ke depan, kami mengupayakan agar lebih banyak lagi bahan baku lokal yang dikembangkan seperti tepung singkong, porang, sorgum, sagu, ganyong, hanjeli, hotong, pisang, sukun, talas, ubi jalar, dan lainnya untuk diversifikasi produk olahan pangan,” ungkapnya.
Sementara itu, krisis energi terjadi dengan harga energi terus mengalami kenaikan. “Pemerintah sendiri saat ini tengah menggodok rencana penyesuaian harga BBM. Berdasarkan data yang kami miliki, pengeluaran IBS (industri besar, sedang) untuk bahan bakar dan pelumas pada tahun 2019 mencapai Rp 58,7 triliun dan berperan sebesar 1,3 persen terhadap total biaya produksi,” sebut Agus.
Bila menggunakan angka pada tahun 2019 tersebut, untuk memproyeksi angka tahun 2021 dengan asumsi pertumbuhan sebesar 5 persen, maka pada tahun 2021 pengeluaran bahan bakar dan pelumas mencapai Rp 60 triliun dan berperan sebesar 1,4 persen.
Baca juga : Telkom Melon Siap Distribusikan Film Dan Series Lokal Ke Negeri Jiran
“Dengan angka tersebut, saya berpendapat bahwa secara umum kenaikan harga Pertalite tidak berdampak siginifikan terhadap sektor industri manufaktur, tetapi tentu akan berdampak pada karyawan pengguna Pertalite,” imbuhnya.
Namun, sektor Industri akan mendapat dampak langsung yang signifikan jika biaya solar dinaikkan. “Kenaikan harga solar tentunya akan meningkatkan variabel biaya logistik dan kenaikan harga produk dengan kenaikan harga sekitar 10-15 persen,” sebut Agus.
Guna semakin meningkatkan daya saing industri dalam negeri, Kementerian Perindustrian tengah memperjuangkan perluasan penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri. Kebijakan HGBT telah terbukti mampu memperkuat resiliensi dan daya saing industri pengguna gas.
Baca juga : SIM Keliling Bekasi, Hari Ini Hadir Di Revo Town
“Ini karena terjadi efisiensi, terutama pada biaya operasional dan bahan baku industri pengguna gas,” terangnya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya