Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Keterbukaan Dan Kritis, Kunci Pulih Dari Virus Intoleransi Dan Radikalisme

Kamis, 18 Agustus 2022 23:49 WIB
Peneliti dan kader intelektual Muhammadiyah Muhammad Abdullah Darraz (Foto: Istimewa)
Peneliti dan kader intelektual Muhammadiyah Muhammad Abdullah Darraz (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia masih di bawah bayang-bayang disintegrasi akibat virus radikalisme dan intoleransi. Bangsa dicabik-cabik perpecahan dan permusuhan yang berakar dari maraknya nalar kebencian. Ibu pertiwi harus segera pulih dari virus intoleransi dan radikalisme untuk bangkit lebih kuat menuju harmoni bangsa.

Peneliti dan kader intelektual Muhammadiyah Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, virus intoleransi dan radikalisme menjadi halangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia yang harmoni dalam keberagaman. Setidaknya, ada dua elemen mendasar yang perlu dimiliki anak bangsa untuk pulih dari virus intoleransi dan radikalisme.

“Pertama, keterbukaan. Kedua, sikap kritis. Itu dibutuhkan dan wajib ditanamkan,” ujar Darraz, di Jakarta, Kamis (18/8).

Darraz menjelaskan, proses radikalisasi sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat strategi infiltrasi kelompok radikal yang semakin halus, canggih dan ‘cantik’. Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.

Baca juga : Rieke: Data Penerima Subsidi Harus Terintegrasi Kementerian Sosial

“Tentunya ini juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan manipulasi (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis,” ujarnya.

Ia menyebut, Indonesia dalam konteks radikalisme dan intoleransi sedang dalam kondisi ‘sakit’. Virus itu mampu melemahkan bangsa sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusara konflik.

“Karena bangsa yang sehat adalah bangsa yang penuh toleransi, selalu damai, dan menghargai perbedaan. Sebab virus radikalisme dan intoleransi yang melemahkan bangsa ini, dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara kedepannya,” jelas Darraz.

Oleh karenanya, ia mengajak semua pihak untuk mampu merefleksikan diri melalui pesan kemerdekaan untuk bersatu dan bertekad melawan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa. Salah satunya, praktik radikalisme dan intoleransi yang dewasa ini mudah dijumpai sebagai politisasi agama oleh oknum dengan kepentingan politik.

Baca juga : Kemenkominfo Dan Kemendagri Gelar Literasi Digital Bagi ASN Jateng

Dia lalu mengutip pendapat Yahya Zainul Maarif atau Buya Yahya. Darraz mengatakan, kalau tidak siap menerima perbedaan, jangan lahir ke dunia. Hal tersebut menjadi bekal bagi anak, pemuda, dan masyarakat untuk menerima perbedaan dan keragaman yang harus ditanamkan sejak dini agar menjadi sifat bawaan yang melekat pada anak bangsa.

“Untuk itu, peran pendidikan akan sangat efektif untuk menanamkan sikap kritis. “Namun justru cara pandang kritis itu tidak betul-betul diajarkan dalam sistem pendidikan kita. Bahkan lembaga pendidikan dijadikan alat, salah satunya melalui guru-guru,” kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.

Padahal, menurutnya, guru dan sekolah seharusnya menjadi benteng resiliensi siswa, bukan malah menjadi aktor radikalisasi siswa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan agenda besar dari pemerintah agar secara serius memberikan penguatan kepada masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

“Pemerintah harus betul serius menggalang kerjasama dengan masyarakat sipil, tokoh dan ormas moderat. Jadi penguatan di masyarakat sipil harus benar dilakukan  yaitu bagaimana Pancasila bisa dibumikan dan berdampak positif,” ujar Darraz.

Baca juga : Kemenkominfo Dan Kemendagri Gelar Literasi Digital Di Jatim

Mengutip penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait indeks risiko terorisme, sejak 2010 terus mengalami penurunan hingga 12 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Menurutnya, upaya kedua yang bisa dilakukan adalah kelompok toleran harus lebih aktif bernarasi dan masuk ke kelompok radikal, terutama kepada kelompok anak muda. “Kelompok toleran harus lebih aktif bersuara dan masuk ke kelompok yang 12 persen itu. Saya kira ini lebih efektif,” ucapnya.

Darraz juga berharap Pemerintah mampu membawa dan mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagai pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pasca 77 kemerdekaan, guna mengurangi potensi radikalisme. “Ini bom waktu yang kalau sudah meledak akan sulit diperbaiki. Keadilan sosial ini yang masih harus kita perjuangkan dan dibenahi, ini pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pasca kemerdekaan,” tandasnya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.