Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
- Menkes: Kesehatan Salah Satu Modal Utama Capai Target Indonesia Emas 2045
- Jangan Sampai Kehabisan, Tiket Proliga Bisa Dibeli di PLN Mobile
- Temui Cak Imin, Prabowo Ingin Terus Bekerjasama Dengan PKB
- Jaga Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 25 Bps Jadi 6,25 Persen
- Buntut Pungli Rutan, KPK Pecat 66 Pegawainya
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Mantan Wakil Presiden CAC: Regulasi Keamanan Pangan Tak Boleh Diskriminatif
Minggu, 18 September 2022 09:35 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Mantan Wakil Presiden Codex Alimentarius Commission (CAC) Prof Purwiyatno Hariyadi mengatakan, regulasi keamanan pangan diskriminatif yang hanya diberlakukan pada satu produk tertentu bukan prinsip regulatory yang baik. Menurutnya, hal itu bisa menyebabkan tujuan kebijakan yang mau dibuat tidak tercapai.
Hal itu disampaikan Prof Purwiyatno menanggapi wacana pelabelan “berpotensi mengandung BPA (Bisphenol A)” hanya pada produk kemasan galon guna ulang. Menurut Purwiyatno, penelitian yang dilakukan hanya kepada produknya saja belum cukup untuk menyimpulkan bahwa itu membahayakan bagi kesehatan.
Baca juga : UMKM Jangan Terus Berada Di Pinggiran
“Kalau kita bicara mengenai risiko keamanan pangan, landasannya adalah bukannya ada atau tidak ada bahaya dalam hal ini BPA dalam produknya, tetapi seberapa besar paparan atau exposure BPA tersebut terhadap masyarakat,” ujarnya.
Peneliti senior Seafast Center Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB) ini mengutarakan, kebijakan terkait pelabelan BPA ini termasuk regulatory science yang harus mempertimbangkan berbagai faktor. Di antaranya faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain, termasuk aspek politik juga bisa masuk di sana.
Baca juga : Urusan Beras Pabaliut
“Makanya, ketika kita basisnya paparan, semua potensi paparan itu harus dihitung, harus dicek. Jadi, misalnya masyarakat kita itu berpotensi terpapar BPA, itu harus diteliti juga dari mana saja BPA itu berasal. Karena kurang bermakna juga kalau yang ditekankan itu hanya potensi paparannya saja,” jelasnya.
Menurutnya, ujung dari me-manage risiko itu adalah mengurangi risiko terpapar terhadap bahaya yang diidentifikasi tersebut. “Jadi, penelitiannya harus lengkap agar efektif dan efisien. Karena, kalau hanya parsial, bisa jadi tujuan dari kebijakan itu tidak tercapai,” ungkap Purwiyatno.
Baca juga : Produk Minuman Lokal Kian Ramaikan Pasar Tanah Air
Jadi, tegasnya, yang diteliti itu bukan jumlah BPA pada produk, melainkan jumlah BPA yang masuk ke dalam tubuh. “Dan itu juga, yang diuji seharusnya tidak hanya BPA yang ada pada produk AMDK saja, semua kemasan pangan lain yang juga ber-BPA,” ucapnya.
Dia menerangkan, melakukan kajian risiko kepada masyarakat itu sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Di sana secara jelas dikatakan bahwa semua kebijakan tentang keamanan pangan harus berdasarkan pada kajian risiko. “Untuk kasus BPA ini, apakah sudah ada dilakukan kajian risikonya. Kalau itu sudah ada, hasilnya juga perlu disampaikan ke masyarakat secara transparan. Kalau itu sudah ada, menurut saya tidak mungkin terjadi banyak perdebatan seperti yang ada saat ini,” katanya.■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya