Dark/Light Mode

Masalah Minyak Goreng, Pemerintah Diminta Beri Kepastian Hukum Ke Pengusaha

Selasa, 1 Agustus 2023 20:10 WIB
Pedagangan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengemas minyak goreng curah. (Foto: Patra Rizky Syahputra/RM)
Pedagangan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengemas minyak goreng curah. (Foto: Patra Rizky Syahputra/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Upaya Pemerintah melibatkan pelaku usaha dalam mengendalikan harga minyak goreng tahun lalu berbuntut penetapan 3 perusahaan sawit sebagai tersangka yakni Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menaruh perhatian serius terhadap hal ini.

Ia melihat, pelaku usaha berada pada posisi tidak menguntungkan. Para pelaku usaha yang pada prinsipnya menjalankan kebijakan Pemerintah dalam hal penyediaan dan pengendalian harga minyak goreng, justru tak mendapat perlindungan dari pembuat kebijakan.

"Pemerintah membuat aturan tersebut guna mengatasi kelangkaan minyak goreng di mana-mana kan? Dalam situasi itu, pengusaha mungkin juga mau ambil kesempatan untung, namanya juga pengusaha. Tapi, sudah seharusnya Pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia," ucap Agus.

Berkaca dari kondisi itu, ia menyarankan agar pemerintah mau terbuka data berkaitan dengan kebijakan minyak goreng. Tujuannya, untuk mengetahui letak pasti kesalahan itu terjadi. Dengan demikian, ada transparansi yang memberikan ketenangan para pelaku usaha yang sudah berkontribusi menyukseskan kebijakan pemerintah kala itu untuk mengendalikan harga minyak goreng di tingkat konsumen.

Selain transparansi, yang tak kalah penting adalah kepastian hukum tadi. Jangan sampai penetapan tersangka yang terjadi saat ini malah jadi contoh negatif yang bakal membuat pelaku usaha khawatir bila di kemudian hari kembali dilibatkan dalam program Pemerintah.

Baca juga : Pantau 255 Titik, Pertamina Pastikan Pasokan LPG 3 Kg Aman

"Selama ada kepastian dan pengusahanya sendiri menjalankan bisnisnya sesuai peraturan, saya rasa tidak terlalu berpengaruh. Nah, kita lihat saja nanti bagaimananya? Kalau ini berdampak luas, membuat investasi mandeg atau menurun itu juga nggak baik kan," ucapnya.

"Yang jelas, sudah hal yang wajib dilakukan Pemerintah memberikan kepastian hukum dan investasi bagi siapa pun yang berinvestasi di Indonesia," sembungnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengungkapkan keprihatinan perihal penetapan tiga pengusaha anggotanya sebagai tersangka. Dia pun heran, mengapa bisa demikian.

“Kok sampai begini? Mereka sudah patuh dan melaksanakan kebijakan Pemerintah, kok dipidana. Kalau kasus ini terus berlanjut, ini bisa berdampak pada terganggunya iklim investasi,” ungkap Eddy.

Terlepas dari penetapan tiga pengusaha sawit itu, kebijakan pengendalian harga minyak goreng dianggap salah resep. Dalam hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dipublikasikan Februari 2022 terungkap, kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

Baca juga : Banyak Kasus Seputar Penerimaan Siswa Baru, Nadiem Diminta Tak Banyak Mengeluh

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61 persen merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," bunyi hasil kajian tersebut.

Dalam perjalanannya, kebijakan pengendalian harga minyak goreng terus berubah-ubah. Terakhir. adalah Permendag Nomor 3 Tahun 2022, yang berisi bahwa subsidi juga ditujukan untuk minyak goreng kemasan yang bahan bakunya diambil dari minyak goreng curah.

Dalam kajiannya, INDEF memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional. Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10 persen dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61 persen atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah. "Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegas hasil riset tersebut.

Baca juga : Dirut Pertamina Patra Niaga Pastikan Stok LPG di Pangkalan Aman

Pemerintah juga perlu menyadari, kebijakan DMO kelapa sawit tidak bisa disamakan dengan DMO Batubara. Pada DMO batubara, dapat efektif menjaga kesediaan dan harga domestik dikarenakan off taker jelas, yakni PLN.

“Sedangkan DMO kelapa sawit, off taker yang akan terlibat lebih dari satu, yakni pabrik minyak goreng, baik itu pabrik minyak goreng yang berdiri sendiri maupun pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit," jelas kajian tersebut.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.