Dark/Light Mode

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo

Resep Jamu Manis & Pahit Untuk Menjaga Rupiah

Rabu, 9 Januari 2019 07:21 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah), dalam sesi wawancara khusus dengan tim Rakyat Merdeka di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, Senin (7/1). (Foto: M Qori Haliana/Rakyat Merdeka)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah), dalam sesi wawancara khusus dengan tim Rakyat Merdeka di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, Senin (7/1). (Foto: M Qori Haliana/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Lega. Awal tahun ini negeri kita dihadiahi Rupiah yang menguat. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo optimis, meski 2019 adalah tahun politik, nilai tukar Rupiah dan situasi ekonomi akan terus membaik.

Perry Warjiyo menerima tim Rakyat Merdeka yaitu Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Riky Handayani, Aditya Nugroho dan Muhammad Qori, di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, Senin (7/1). Wawancara berlangsung dengan suasana santai, obrolannya pun cair. Gubernur bank sentral kelahiran Sukoharjo ini sangat bersahaja dan banyak senyum. Air mukanya bikin adem.

Dilantik menjadi Gubernur BI pada Mei 2018, tugas Perry amatlah berat. Saat itu kondisi ekonomi sedang tidak stabil, nilai tukar rupiah rontok. Namun, tak sampai setahun, indikator ekonomi mulai pulih. Kata alumni UGM ini, resepnya adalah memadukan jamu pahit dan jamu manis. Apa itu? Berikut kutipan wawancaranya.

Bagaimana Bank Indonesia melihat kondisi ekonomi tahun ini?

Kami optimis, situasi ekonomi tahun ini akan lebih baik dibandingkan 2018. Pertama, perkiraan kami, pertumbuhan ekonomi 5-5,4 persen dengan titik tengahnya 5,2 persen. Sedangkan di 2018, kami perkirakan tumbuh 5,1 persen. Memang tahun ini belum meningkat secara drastis. Kenaikan besar akan terjadi tahun-tahun berikutnya, mulai 2020 dan seterusnya.
 
Mengapa dan bagaimana terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi?

Sumber pertumbuhan ekonomi cukup luas, khususnya yang berasal dari dalam negeri atau domestik, yang terdiri dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,2 persen. Investasi bisa tumbuh 7 persen. Itu cukup tinggi.

Pasti ada pertanyaan, kenapa pertumbuhan ekonomi secara keseluruhannya hanya 5,2 persen?

Itu karena ekspornya. Meski digenjot, tumbuhnya baru 7 persenan. Konsumsi rumah tangga yang 5,2 persen itu menunjukan daya beli kita cukup baik. Angka 5,2 persen itu tinggi. 

Baca juga : Mantap, Optimisme Konsumen Terus Menguat

Bagaimana dengan inflasi?

Tahun lalu di kisaran 3,1 persen dan cukup terkendali. Tahun ini, inflasi diperkirakan sebesar 3,5 persen. Itu dari titik tengah sasaran 2,5-4,5 persen. Angka inflasi 3,5 persen itu rendah dan terkendali. Kami melihat tidak ada dampak pelemahan rupiah terhadap kenaikan harga. Sebab, harga global rendah, dan pasokan dalam negeri masih bisa memenuhi kebutuhan. 

Inflasi tahun lalu mencapai sekitar 3,1 persen karena didorong konsistensi kebijakan moneter dan koordinasi yang erat, baik di dalam mengendalikan harga pangan di pusat maupun daerah. Termasuk, Tim Pengendali Inflasi baik di pusat maupun di daerah melalui 46 kantor cabang kami. Mungkin sekarang ada 500 Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di kabupaten/kota.
Untuk mengendalikan inflasi di daerah,  kantor-kantor cabang mengembangkan kluster pangan baik padi, bawang merah, bawang putih, dan sapi. 

Bagaimana dengan nilai tukar rupiah. Pekan ini rupiah kelihatannya terus menguat. Mengapa itu bisa terjadi?
Nilai tukar tahun ini akan bergerak stabil dan cenderung menguat. Nilai tukar saat ini (Senin 7/1) sekitar Rp 14 ribu. Bahkan sempat turun tadi di angka Rp 13.990. Mekanisme pasar biasa seperti itu.
 
Ada empat faktor yang membuat nilai tukar rupiah stabil dan menguat. Pertama, tentu saja konsistensi kebijakan Bank Indonesia termasuk kebijakan suku bunga. Tahun lalu (November 2018) kami menaikkan suku bunga 6 persen. Saat itu, Kami mempertimbangkan rencana The Fed (Bank Sentral Amerika) yang menaikkan suku bunga pada Desember lalu, dan beberapa bulan ke depan.

Dengan tingkat suku bunga 6 persen dan suku bunga obligasi pemerintah sekitar 7,7 persen, itu akan cukup menarik bagi aliran modal asing. Masuknya modal asing, akan menambah pasokan valas dalam negeri sehingga mendukung nilai tukar rupiah.

Sebagai gambaran, di triwulan IV-2018, kami perkirakan aliran modal asing yang masuk sekitar 12 miliar dolar AS. Meskipun defisit transaksi berjalan masih tinggi, di atas 8 miliar dolar AS, secara keseluruhan neraca pembayaran surplus 4 miliar dolar AS. Kalau neraca pembayaran surplus, berarti pasokan devisanya cukup untuk memenuhi permintaan. Sehingga, nilai tukar rupiahnya menguat dan stabil.

Faktor kedua adalah arah kebijakan suku bunga AS. Setelah naik empat kali di tahun lalu, pasar memperkirakan The Fed tahun ini akan menaikkan suku bunganya tiga kali lagi. Tapi ternyata, hasil sidang The Fed Desember lalu, mereka kemungkinan hanya akan menaikkan suku bunga dua kali. Bahkan, dari komentar Ketua The Fed Jerome Powell, tampaknya mereka cenderung dovish (menunda atau melonggarkan kebijakan moneter).

Dengan arah kebijakan suku bunga seperti itu, bisa membawa Indonesia semakin menarik. Investor global yang menarik dananya dari negara emerging market termasuk Indonesia ke Amerika, kini mulai banyak yang kembali. Mereka menanamkan lagi dananya, termasuk ke Indonesia.

Baca juga : Diaspora Indonesia Di New York Nyatakan Dukungan Untuk Jokowi-Maruf

Faktor ketiga, dari sisi fundamentalnya. Defisit transaksi berjalan tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. Di 2018, sekitar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun ini bisa turun ke 2,5 persen seiring adanya sinergi yang makin erat antara Bank Indonesia dan pemerintah.

Faktor keempat, semakin bekerjanya mekanisme pasar. Yaitu pasar valuta asing yang sekarang tidak hanya dijual di pasar tunai, tapi juga ada swap (transaksi pertukaran valas dengan pembelian tunai dan penjualannya berjangka atau sebaliknya, dengan maksud mendapat kepastian kurs). BI juga memberlakukan transaksi DNDF (domestic non deliverable forward). Ini semua akan memperkuat mekanisme pasar. 

Jurus apa yang dikeluarkan BI untuk menghadapi situasi ekonomi dunia yang kelihatannya masih dipenuhi ketidakpastian?

Kuncinya adalah sinergi, konsintensi dan komunikasi. 2018, situasinya betul-betul sangat dinamis. Pada awal tahun kondisi aman, tapi setelah April dan (saya) dilantik menjadi Gubernur BI pada Mei, kondisi global penuh ketidakpastian.

Suku bunga The Fed naik sampai 4 kali karena ekonomi Amerika sangat kuat. Dan, yang tidak diprediksi adalah kebijakan Presiden AS Donald Trump ternyata disetujui DPR dan MPR-nya. Kemudian ada perang dagang Amerika. Mereka tidak hanya perang dagang dengan China, tapi juga dengan Kanada, Meksiko, dan Eropa.

Sejak saya menjabat Gubernur Bank Indonesia, saya umumkan ke publik bahwa saya diskusi dengan Presiden Jokowi mengenai permasalahan ekonomi. Dan Bapak Presiden menjunjung tinggi independensi Bank Indonesia. Maka, kebijakan moneter memang harus ketat. Bukan karena inflasi di dalam negeri rendah, tapi suku bunga global tinggi dan kami tidak ada pilihan untuk menstabilkan kurs.

Kami harus menaikkan suku bunga. Tapi saya sampaikan kepada presiden, istilahnya kalau ada jamu pahit moneter dengan kenaikan suku bunga, maka kami sediakan juga jamu manisnya. Apa itu? Jamu manisnya, salah satunya, pelonggaran uang muka perumahan. Kami dorong perbankan tidak hanya fokus pada dana pihak ketiga funding-nya, tapi juga menerbitkan obligasi bank maupun yang lain-lain.

Bagaimana sinergi Bank Indonesia dengan Pemerintahan dan lembaga lainnya?

Baca juga : Peringati Hari Penyatuan Jerman Sambil Heningkan Cipta Untuk Korban Gempa Palu

Sinergi Bank Indonesia dengan pemerintah sangat erat. Juga OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Kami ada high level bilateral meeting. BI tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri, sebab banyak faktor yang terkait.

Tentang konsistensi dan komunikasi?

Hal kedua adalah konsistensi. Sejak suku bunga global naik, BI menempuh kebijakan preventif dan forward looking. Dan kami konsisten dengan kebijakan yang telah diambil.
 
Ketiga komunikasi. Kami tidak hanya koordinasi dengan pemerintah, tapi juga dunia usaha, serta investor luar dan dalam negeri. Kami sangat agresif berkomunikasi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Komunikasi antar lembaga sekarang sudah baik. Jangan sampai yang satu bicara begini, yang pihak lainnya membantah. Dengan pemerintah dan lembaga, kita sering pertemuan, sering diskusi bahkan berdebat. Koordinasi BI dengan pemerintah sangat baik. Situasi berbeda dengan negara lain. Misalnya, melihat hubungan Presiden AS Donald Trump dengan kepala The Fed-nya yang tidak akur. 

Bagaimana cara  mendorong ekspor agar defisit transaksi berjalan bisa berkurang?
Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dan tax holiday yang dikeluarkan pemerintah lebih agresif dibandingkan Thailand, Malaysia maupun Vietnam. Kebijakan ini bisa mendorong ekspor dan kurangi impor. Yang perlu dipastikan bagaimana impelementasinya. 

Arus modal sudah masuk kembali?
Sudah masuk. Bahkan, minggu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan lelang surat utang sebesar Rp 15 triliun, yang masuk lebih Rp 50 triliun dan yang dimenangkan sekitar Rp 28 triliun. Asing banyak yang beli.

2018 ekonomi kita ada yang menyebut dalam kondisi lampu kuning. Kalau tahun ini apakah ekonomi akan lampu hijau?
Insya Allah. Saya optimis. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.