Dark/Light Mode

Nelayan Vs Sumber Daya Laut: ”Tragedy of the Common” dari Lensa Game Theory

Jumat, 22 Maret 2024 14:31 WIB
Nelayan menangkap ikan. (Foto: Istimewa)
Nelayan menangkap ikan. (Foto: Istimewa)

Lautan mengambil peran penting dalam kehidupan umat manusia. Fakta geografis menunjukkan bahwa pada tahun 2013, terdapat 12.827 desa di Indonesia yang bertempat di pesisir laut (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2014). Selain itu, volume produksi perikanan nasional tahun 2017 menunjukkan bahwa sub jumlah perikanan tangkap dan perikanan budidaya nasional mencapai 23.186.442 ton (Satu Data Kelautan dan Perikanan, 2018).

Kedua hal tersebut membuktikan bahwa tidak sedikit penduduk Indonesia yang masih memiliki hubungan interdependensi dengan dunia kelautan dan kemaritiman, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi (Imron & Wahyono, 2018). Realitanya, laut dianggap sebagai sumber daya milik bersama (common property) dan dapat digunakan oleh siapapun (open access) (Cahyadi, 2016). Hal inilah yang kemudian menjadi ambiguitas dalam penerapan berbagai kebijakan perihal perairan dan kemaritiman. 

Paradigma tersebut menimbulkan problematika yang muncul pada realita publik, yaitu bagaimana kemudian laut dianggap sebagai sesuatu yang tidak akan habis sehingga semua orag berebut untuk dapat menikmati hasilnya. Dalam sudut pandang ekonomi, fenomena seperti ini kerap disebut sebagai the tragedy of the common. Berangkat dari pandangan seorang ahli ekologi, Garrett Hardin, yang beranggapan bahwa tragedy of the common merupakan hal dimana keuntungan yang didapat dari suatu kegiatan atau aksi bersifat privat tetapi biaya ditanggung bersama (publik/orang banyak) (Diekert, 2012). Dengan kata lain, tragedy of the common adalah penggambaran berkurangnya sumber daya yang dimiliki bersama karena eksploitasi yang dilakukan skala individu maupun kelompok tanpa menyadari dampak negatif ataupun kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh perilaku tersebut.

Baca juga : Nelayan Ganjar Beri Edukasi Budi Daya Rumput Laut Bagi Warga Di Takalar

Dalam konteks kemaritiman di Indonesia, kebijakan mengenai kelautan dan perikanan yang dianggap sebagai “common property” selalu menjadi buah bibir masyarakat. Dengan terpenuhinya dua karakteristik vital yaitu excludability dan rivalry, kelautan dan perikanan di Indonesia dapat diasumsikan sebagai sumber daya yang dimiliki bersama. Namun, yang menjadi kontroversial adalah antara penguasaan privat dan sosialisme atas laut, manakah yang seharusnya diterapkan di Indonesia? Fenomena ekonomi ini dapat dipandang melalui kacamata teori permainan (game theory), yaitu cara menganalisis interaksi strategis antara individu atau kelompok, dan dapat digunakan untuk memahami bagaimana individu membuat keputusan dalam situasi di mana tindakan mereka mempengaruhi orang lain (Carrozzo Magli et al., 2021).

Tragedy of The Commons

Dalam ilmu ekonomi, istilah "tragedy of the common" menggambarkan situasi dimana orang-orang, yang termotivasi oleh kepentingan pribadi mereka, menghabiskan sumber daya bersama sehingga mengakibatkan dampak buruk pada kelompok secara keseluruhan. Garrett Hardin, seorang ahli ekologi, memperkenalkan istilah ini pada tahun 1968. Ia menggunakan contoh beberapa penggembala yang berbagi padang rumput yang sama. Setiap penggembala tergoda untuk menggembalakan lebih banyak ternak, namun jika hal ini dilakukan oleh semua penggembala, padang rumput akan digembalakan secara berlebihan dan pada akhirnya kehabisan sumber daya (Freudenburg et al., 2012). Ide ini sering digunakan untuk menyoroti konflik antara kepentingan umum dan nalar individu.

Sebuah skenario yang dikenal sebagai tragedy of the common terjadi ketika seseorang bertindak demi kepentingannya sendiri dan menyalahgunakan sumber daya yang dimiliki bersama dan terbatas. Hal ini berlaku untuk berbagai sumber daya, termasuk kelautan, wilayah penggembalaan bersama, dan perikanan. Gagasan ini mempunyai konsekuensi terhadap cara pengelolaan sumber daya alam dilakukan serta perlunya upaya kelompok untuk mencegah eksploitasi berlebihan. Konsep ini telah menimbulkan perdebatan mengenai metode yang paling efektif untuk mengelola dan melindungi sumber daya bersama dan telah mendapatkan perhatian dalam bidang ekonomi, ilmu lingkungan, dan pembuatan kebijakan (Vreja et al., 2016). 

Baca juga : Urban Fund Tingkatkan Anggaran Dan Jangkauan Layanan Perumahan

Game Theory, Nelayan, dan Sumber Daya Laut Indonesia

Seperti yang tertera pada bagan di atas, penulis berusaha membuat kerangka sebab-akibat sekaligus sebagai alur pikir dari topik ini. Ketika beberapa nelayan mempunyai akses terhadap sumber daya bersama, seperti wilayah penangkapan ikan, dan mempunyai potensi untuk menguras sumber daya tersebut melalui penangkapan ikan yang berlebihan, maka gagasan mengenai tragedy of the common dapat diterapkan pada sektor perikanan (Panagopoulou et al., 2017). Karena tersentuh langsung oleh kelestarian sumber daya, para nelayan berbeda pendapat mengenai hal ini. Nelayan skala kecil, misalnya, melihat meningkatnya interaksi dengan spesies yang dilindungi dan berkurangnya populasi ikan sebagai ancaman terhadap penghidupan mereka.

Di sisi lain, Kebijakan Perikanan Umum Nasional, yang berupaya mengendalikan metode penangkapan ikan, mendapat kecaman karena gagal menangani konflik antara kepentingan finansial jangka pendek nelayan dan kelangsungan perikanan dalam jangka panjang (Sofia, 2017). Perspektif nelayan terhadap tragedi milik bersama di bidang perikanan dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk dinamika alam di wilayah tersebut, dampak peraturan pemerintah, dan ketergantungan mereka pada sumber daya untuk penghidupan mereka (Imron, 2011). Meskipun sebagian orang memahami bahwa metode berkelanjutan diperlukan untuk menjamin keuntungan jangka panjang, sebagian lainnya mungkin merasa sulit untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan finansial mereka saat ini dan kesehatan perikanan dalam jangka panjang (Hazarika, 2021). Hal ini menunjukkan betapa rumit dan beragamnya permasalahan yang ada, sehingga memerlukan tindakan penyeimbangan yang cermat antara faktor peraturan, lingkungan, dan ekonomi.

Baca juga : Optimal Layani UMKM, PosIND Kian Mantap Di Sektor Logistik

Permasalahan dalam konteks ini pada dasarnya merupakan permasalahan stok sumber daya laut yang dinamis dan terbatas, dan perbandingannya dengan nelayan yang kuantitasnya begitu banyaknya. Namun, dalam isu ini, kerja sama sangat sulit untuk dikembangkan dan dipertahankan oleh berbagai pemangku kepentingan. Di satu sisi, nelayan paham bahwa sumber daya laut jumlahnya terbatas dan diperebutkan. Di sisi lain, mereka akan terus mengeksploitasi sumber daya laut secara terus menerus, walaupun jumlah tangkapan dan keuntungan yang didapat akan terus menurun. Potensi kerugian yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya laut tidak terbatas, sementara di masyarakat lokal, para nelayan selalu dapat menjamin bahwa mereka tidak akan mendapat imbalan apa pun. Mereka bisa saja berhenti menangkap ikan, namun tidak mungkin meninggalkan bumi ini (setidaknya tidak di era modern).

Lalu mengapa hal seperti ini dikatakan sebagai tragedi? Karena keuntungannya hanya satu arah yaitu untuk individu (nelayan), tetapi kerugian yang ditanggung adalah kerugian bersama, buruknya dapat menimbulkan problem-chain, serta menjalar ke berbagai aspek lain diluar aspek ekonomi. Hardin dalam hal ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang dikategorisasikan sebagai kepemilikan bersama (common property) tentu akan menciptakan kompetisi, kontestasi yang tidak normal, kapitalisasi yang berlebih, yang dilanjut dengan berkurangnya sumber daya, dalam hal ini kemaritiman (Weitz et al., 2016). 

Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk mulai melakukan pergeseran poros kekuasaan yang tadinya state-based, dengan nelayan khususnya nelayan trasidional kurang diberi kekuasaan dan wewenang atas pekerjaannya karena overkapitalisasi pemerintah, menuju co-management. Kebijakan co-management sendiri merupakan skema dimana pengelolaan atas laut dan sumber daya yang ada di dalamnya merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Co-management biasanya digambarkan sebagai jembatan antara nelayan dan lembaga administrasi nasional, termasuk lembaga penelitian perikanan. Dengan dinamika pasar menjadi lebih penting, dapat diharapkan bahwa koordinasi kinerja pasar dengan ukuran manajemen perikanan akan semakin penting.

Nafiza Suci Azzahri
Nafiza Suci Azzahri
Mahasiswa FISIPOL UGM

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.