Dark/Light Mode

Konversi Minyak Jelantah sebagai Bioavtur Berbantuan Katalis Lumpur Lapindo

Jumat, 5 April 2024 17:18 WIB
Ilustrasi penerbangan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. (Foto: Freepik.com)
Ilustrasi penerbangan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. (Foto: Freepik.com)

Krisis energi yang meliputi perubahan, ketahanan, dan transisi telah menjadi isu yang krusial sejak awal abad ke-21. Isu tersebut memberikan pengaruh terhadap konsumsi energi pada berbagai sektor seperti industri, transportasi, dan rumah tangga. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi Bahan Bakar Minyak pada sektor transportasi menduduki peringkat satu sebesar 43,11 persen . Sementara itu, berdasarkan laporan yang diterbitkan pada tahun 2016 oleh Agency for The Assessment and Application of Technology, transportasi udara Indonesia menjadi sub sektor dengan peningkatan konsumsi energi paling tinggi sebesar 6 persen per tahun.

Jika dibandingkan secara internasional, nilai ini melebihi rata-rata konsumsi energi (4 persen  penerbangan dunia (Gaillot dkk., 2023). Fenomena ini disebabkan karena kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, sehingga masyarakat dan turis asing lebih memilih transportasi udara ketimbang transportasi laut (Anggraini dkk., 2014). 

Adanya pertumbuhan jumlah permintaan jadwal penerbangan di Indonesia dapat berujung pada kelangkaan bahan bakar pesawat (avtur) akibat jumlah impor bahan bakar fosil yang meningkat. Korelasi ini mampu menimbulkan inflasi terhadap harga avtur dalam negeri. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil mampu menurunkan kualitas lingkungan khususnya pada lapisan troposfer. Hasil pembakaran avtur pada mesin turbin pesawat dapat menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti NOx dan CO2 dengan total mencapai 13,3 persen dari keseluruhan jenis moda transportasi (Van dkk., 2018).

Jumlah GRK yang meningkat dapat menimbulkan efek pemanasan global. Salah satu alternatif solusi dari permasalahan tersebut adalah penggunaan bioavtur yang berasal dari bahan alam nabati seperti minyak kelapa sawit (Agharadatu dkk., 2023). Keberadaan bioavtur dalam industri penerbangan diperkirakan mampu mengurangi emisi GRK sebesar 68,1 persen di tahun 2050 (El-Araby dkk., 2020). 

Produksi bioavtur di Indonesia masih memerlukan pengembangan terkait kuantitas dan kualitas produk. Pembuatan bioavtur dari minyak jelantah secara konvensional dilakukan pada temperatur 600-700 ⁰C (Christian dan Setiadi, 2019). Proses produksi bioavtur didasarkan pada reaksi hidrorengkah dengan bantuan gas hidrogen. Namun sayangnya, proses tersebut masih memiliki kelemahan yakni temperatur yang terlalu tinggi, proses lama, dan hasil yang kurang selektif (Kahsar dkk., 2014).

Beberapa faktor tersebut sangat memengaruhi kualitas dari bioavtur yang dihasilkan. Maka dari itu, digunakan material katalis yang mampu menurunkan temperatur reaksi, mempercepat reaksi hidrorengkah, dan meningkatkan selektivitas produk (Triyono dkk., 2024). Material katalis yang sering digunakan dalam proses hidrorengkah bersumber dari zat anorganik seperti silika (Rahimi dkk., 2021) dan alumina (Hosseini dkk.,2017).

Baca juga : Dorong Ekonomi Jelang Lebaran, PalmCo Gelar Mudik Gratis Dan Pasar Murah

Katalis menjadi faktor yang tak terpisahkan pada penyelenggaraan dan pengembangan industri kimia. Masalah kembali muncul ketika harga pembelian katalis sintetik menjadi sangat mahal. Suplai katalis pada beberapa industri di Indonesia mayoritas berasal dari aktivitas impor. Fakta ini disampaikan oleh Prof. Subagjo dalam orasi ilmiah di ITB pada tahun 2018, kebutuhan katalis di Indonesia telah diperkirakan mencapai 500 juta dolar AS.

Fenomena ini tentunya akan memberatkan anggaran biaya pada proses industri bahan bakar. Jika masalah ini terus berlanjut, suplai bioavtur untuk industri penerbangan akan terhambat akibat biaya produksi yang melambung tinggi. Hal ini akan berdampak pada harga tiket pesawat yang terlampau mahal sehingga menggangu mobilitas masyarakat antar pulau. Maka dari itu, pengembangan terhadap teknologi katalis sangat perlu digencarkan karena memiliki nilai yang sangat strategis bagi ekonomi suatu negara. 

Salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan memproduksi katalis secara mandiri. Indonesia mempunyai sumber daya mineral yang sangat melimpah tak terkecuali silika (Luthfiah dkk., 2021). Salah satu sumber silika alami berada dalam lumpur lapindo. Lumpur tersebut dihasilkan dari bencana lumpur panas pada tanggal 29 Mei 2006 di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.

Bencana tersebut ternyata menghasilkan material lumpur yang kaya akan kandungan silika (Rahmayanti dkk., 2020). Material ini berpotensi menjadi katalis untuk proses hidrorengkah minyak jelantah menjadi bioavtur. Performansi katalis silika dari lumpur lapindo dapat ditingkatkan dengan penambahan logam molibdenum (Mo) ke dalam matriks silika sehingga reaksi hidrorengkah lebih selektif kepada jalur reaksi hidrodeoksigenasi (HDO) (Yang dkk., 2023).

Minyak jelantah masih banyak mengandung senyawa-senyawa bio-oil dalam bentuk oksigenat sehingga tidak bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar. Adanya jalur reaksi HDO dapat menghilangkan unsur oksigen pada senyawa hidrokarbon dalam feed minyak jelantah. 

Lumpur Lapindo mengandung banyak mineral oksida yang dapat dibuktikan melalui analisis dengan instrumen X-ray Fluorescence (XRF). Instrumen ini mampu mendeteksi keberadaan suatu unsur melalui sinar fluoresensi elektron yang dipancarkan oleh suatu unsur secara spesifik. Data hasil analisis dengan instrumen ini ditunjukkan pada Gambar 1. Mineral silika (SiO2) dan alumina (Al2O3) sangat mendominasi matriks dari lumpur Lapindo sebesar 59,40 persen dan 23,80 persen. Selain silika terdapat beberapa pengotor seperti hematit (Fe2O3), batu kapur (CaO), dan kalium oksida (K2O). Beberapa impuritas tersebut dapat menutup pori-pori dari matriks silika lumpur Lapindo sehingga menggangu dalam proses perengkahan minyak goreng bekas menjadi bioavtur. Jumlah impuritas dapat dihilangkan dengan cara aktivasi menggunakan larutan asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4). 

Baca juga : Resmi Dinyatakan Sebagai Pemenang Pilpres, Prabowo Mau Merangkul Lawan

Gambar 1. Komposisi mineral dalam lumpur Lapindo 

Lumpur Lapindo yang telah melalui proses aktivasi dengan asam sulfat disebut lumpur Lapindo tersulfatasi (LLT). Material ini mengandung matriks silika yang lebih bersih dengan pori-pori yang siap menampung logam Mo. Penambahan logam ke dalam matriks silika dilakukan melalui proses impregnasi. Material katalis yang telah berhasil disintesis (Mo/LLT) kemudian diaplikasikan pada proses produksi bioavtur dari minyak jelantah. Produksi bioavtur dari minyak goreng bekas dilakukan dalam skala pilot menggunakan mikroreaktor double-furnace. Skema reaktor tersebut ditunjukkan pada Gambar 2. 

Gambar 2. Skema mikroreaktor double-furnace untuk produksi bioavtur 

Minyak hasil perengkahan katalitik kemudian dilakukan analisis komposisinya dengan instrumen Gas Chromatograpgy-Mass Spectrometry (GC-MS). Data hasil analisis dari instrumen ini berupa aktivitas dan selektivitas dari kondisi proses produksi bioavtur. Dua faktor tersebut dapat menggambarkan kinerja dari material katalis. Nilai aktivitas dan selektivitas ditunjukkan dalam diagram pada Gambar 3 dan 4. Aktivitas menunjukkan seberapa banyak persen produk cair (minyak) yang dihasilkan dari satu kali proses produksi sedangkan selektivitas menunjukkan berapa persen produk yang diinginkan (fraksi bioavtur) dihasilkan dari proses perengkahan katalitik. 

Baca juga : Desainer Eni Joe Meriahkan Ulang Tahun KPPB dengan Sentuhan Kain Nusantara

Gambar 3. Nilai aktivitas kondisi proses produksi bioavtur

Gambar 4. Nilai selektivitas kondisi proses produksi bioavtur

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, material katalis Mo/LLT memiliki nilai aktivitas (60,21 persen) dan selektivitas (40,36 persen) yang paling tinggi dibandingkan kondisi tanpa katalis dan dengan katalis LLT saja. Fakta ini membuktikan bahwa penggunaan katalis mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bioavtur dari minjak jelantah. Maka dari itu, material Mo/LLT sangat berpotensi dijadikan sebagai solusi alternatif dalam peningkatan produksi bioavtur sehingga mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar penerbangan di Indonesia dengan harga yang lebih murah dan ramah lingkungan. 

Adyatma Bhagaskara
Adyatma Bhagaskara
Peneliti muda di bidang kimia material dan energi

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.