Dark/Light Mode

IHT Minta Aturan Tembakau Dipisah Dari RPP Kesehatan, Ini Alasannya

Senin, 20 Mei 2024 20:02 WIB
Petani tembakau. (Foto: Antara)
Petani tembakau. (Foto: Antara)

RM.id  Rakyat Merdeka - Berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau meminta pemerintah untuk memisahkan regulasi produk tembakau dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Mereka adalah Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), serta Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI). 

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan mengatakan, saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) legal terus mengalami keterpurukan akibat berbagai berbagai dorongan regulasi yang eksesif sehingga pihaknya meminta agar aturan tembakau dipisah dari RPP Kesehatan. Tantangan ini juga dapat dilihat melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2023 yang tidak memenuhi target, yakni hanyamencapai Rp 213,48 triliun atau 91,78 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Henry melanjutkan, pihaknya pesimis target CHT di tahun 2024, yang sebesar Rp 230,4 triliun atau naik 5,08 persen dibandingkan target tahun sebelumnya, bisa terpenuhi. Hingga April 2024, penerimaan CHT tercatat masih minus sebesar 7,3 persen dibandingkan periode yang sama secara tahunan (year on year).

“Jika RPP tetap diputus dengan draf yang beredar saat ini, maka akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin, akan membuat anggota GAPPRI gulung tikar,” ungkap Henry.

Baca juga : SYL Rutin Terima Kiriman Durian Musang King Dari Kementan, Nilainya Ratusan Juta

Ia menambahkan, saat ini sudah banyak berbagai aturanpembatasan dan larangan bagi IHT, di mana setidaknya ada 446 regulasi yang mengatur IHT dengan rincian 400 regulasiberbentuk kontrol atau pengendalian (89,68 persen), 41 regulasiyang mengatur soal CHT (9,19 persen), dan hanya 5 regulasi yang mengatur isu ekonomi atau kesejahteraan (1,12 persen).

“Dengan tambahan RPP (Kesehatan), tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP (Kesehatan), seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang cost-nya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat,” tambahnya.

Selain itu, GAPPRI juga mengharapkan segmentasi bagi aturan penjualan rokok konvensional dan rokok elektrik untuk diperinci lebih jauh. Hal ini dikarenakan kedua jenis rokok tersebut memiliki ekosistem yang berbeda, serta rokok konvensional mayoritas menggunakan bahan baku dalam negeri (TKDN).  

“(Aturan tembakau) RPP Kesehatan agar tidak terburu-buru disahkan. Kami berharap pemerintah mengajak semua pihak yang terlibat dalam penyusunan RPP (Kesehatan), sehingga menghasilkan RPP yang matang dan menjadi kesepakatan semua pihak. Sebagai perbandingan, PP 109/2012, butuh tiga tahun untuk mendapatkan draf yang sebagaimana berlaku sekarang,” terang Henry.

Senada, Ketua Umum APRINDO, Roy Nicholas Mandey menyatakan, pihaknya mengapresiasi adanya UU yang mengatur soal konsumsi tembakau dari sisi kesehatan. Namun yang menjadi catatan, perlu adanya pembahasan intens terkaitlarangan dan pembatasan penjualan bagi produk turunan tembakau karena menyangkut kesejahteraan ekonomi serta tenaga kerja yang berkecimpung di IHT.

Baca juga : Singo Edan Rombak Komposisi Pemain Asing

Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan, yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan. Ia menilai, aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir. 

“Gampang sekali (aturan ini) dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum,” khawatirnya.

Roy melanjutkan seharusnya pemerintah lebih menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait konsumsi tembakau, dan bukan hanya meningkatkan intensitas pembatasan serta pelarangan yang berpotensi mengganggu laju ekonomi dalam negeri. “(Kalau seperti ini) Jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Gross Domestic Product kita bisa mencapai sampai 6-7 persen,” pungkasnya. 

Terpisah, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto mengatakan, aturan pembatasan produk tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak langsung kepada produksi industri tembakau, yang kemudian dikhawatirkan akan berpengaruh pada keberlangsungan tenaga kerja di IHT.

Pihaknya mencatat terdapat 142.688 orang pekerja dari total anggotanya yang mengadu nasib di sektor IHT. Para pekerja tersebut berpotensi terkena dampak ekonomi atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), salah satunya karenaaturan tembakau di RPP Kesehatan dapat memicu maraknyaperedaran rokok ilegal yang tidak memiliki cukai, menggunakan cukai palsu, atau pelabelan cukai yang tidak sesuai peruntukannya. 

Baca juga : Yuk, Lindungi Generasi Emas Dari Bahaya Rokok

“Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikab terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun. Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini.” katanya. 

Selain itu, PP FSP RTMM-SPSI juga meminta agar pemerintah melibatkan para pembangku kepentingan di IHT dalam setiap pembahasan regulasi yang akan dibuat. Hal ini agar aturan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak hanyamengakomodir kepentingan pemerintah saja, tetapi bisa mengakomodir kepentingan industri untuk meningkatkankesejahteran masyarakat. 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.