Dark/Light Mode

Subsidi BBM Lebih Baik Dialihkan ke Pekerja yang Terkena PHK 

Selasa, 26 Mei 2020 08:02 WIB
Aktivitas di SPBU (Foto: Istimewa)
Aktivitas di SPBU (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Harga minyak dunia mulai rebound alias merangkak naik lagi. Sepanjang pekan kemarin, harga minyak jenis brent naik 8,09 persen, menjadi 36,06 dolar AS per barrel. Pada April lalu, harga minyak brent ada di angka 16 dolar AS per barrel karena runtuhnya permintaan.

Sementara, pada pekan kemarin, minyak jenis light sweet terangkat nyaris 13 persen, di kisaran 37 dolar AS per barel. Pada bulan sebelumnya, harga tertinggi light sweet ada di angka 21 dolar AS per barel. 

Pemangkasan pasokan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan pemulihan permintaan minyak seiring pelonggaran lockdown turut mengerek harga minyak. Karena itu, permintaan sebagaian pihak agar menurunkan harga BBM dinilai tak tepat. 

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah yang tidak menurunkan harga BBM sudah tepat. "Saat ini harga minyak terus fluktuatif. Belum lagi mata uang rupiah kita yang masih terdepresiasi," jelas Mamit, Senin (25/5).

Baca juga : Subsidi BBM Perlu Dialihkan ke Sektor Produktif 

Terlebih, saat ini sejumlah daerah telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pademi Covid-19. Sehingga, terjadi penurunan konsumsi terhadap BBM dan penaikan harga BBM di dunia tidak terlalu berpengaruh terhadap masyarakat. "Saya melihatnya di tengah PSBB saat ini, ketika konsumsi BBM terus mengalami penurunan sampai 26,4 persen, tidak terlalu berdampak signifikan kepada masyarakat," kata Mamit.

Dengan kondisi saat ini, lanjut Mamit, subsidi energi, terutama BBM akan lebih bagus dialihkan untuk sektor kesehatan masyarakat yang terdampak Covid-19. Selain itu, bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak karena Covid-19 ini dengan memberikan bansos atau BLT.

"Subsidi BBM juga bisa untuk membantu masyarakat terutama pengguna listrik 1300 VA, yang saya kira juga banyak terdampak karena faktor pekerja yang kena PHK," kata Mamit.

Di sisi lain, kata Mamit, dampak dari energi murah adalah keberlangsungan EBT yang akan sedikit tertunda. Ketika energi fosil lebih murah dari EBT maka, akan lebih memilih energi fosil tersebut. "Dengan demikian target bauran energi 23 persen pada 2025 sulit untuk tercapai. Padahal, kita punya potensi EBT yang bisa dimaksimalkan. Belum lagi jika energi murah tersebut hasil subdisi maka dampaknya terhadap APBN kita akan semakin jelas. Hampir setiap tahun subsidi APBN kita bisa dikatakan jebol," ujar Mamit.

Baca juga : Lebaran Tak Perlu Jabat Tangan

Jika pun melebihi kouta, kata Mamit, yang akan menanggung adalah badan usaha dalam hal ini Pertamina. Ini juga menjadi beban bagi Pertamina jika terus disubsidi. Masyarakat akan semakin dininabobokan dengan subsidi ini.

"Tanpa adannya konversi energi, kita dengan produksi migas hanya 750.000 barrel of oil per day (BOPD) sedangkan konsumsi BBM kita sampai 1,5 juta BOPD maka kita akan lebih banyak mengimpor baik produk maupun minyak mentah. Dampaknya adalah CAD akan semakin melebar impor migas ini. Rupiah sulit bergerak naik karena kebutuhan dollar yang semakin besar," jelas Mamit.

Sementara, terkait dengan kondisi harga minya dunia yang terus mengalami kenaikan, Mamit mengira patut menjadi perhatian bersama. Ia memperkirakan harga minyak dunia akan terus mengalami kenaikan, mengingat sudah banyak negara melonggarkan kebijakan lockdown. 

"Dengan demikian permintaan akan BBM akan mengalami kenaikan, sedangkan disisi lain OPEC+ masih komitmen untuk memotong produksi mereka sampai Juni ini sebanyak 9,7 juta BOPD. Dilanjutkan bulan berikutnya 7,7 juta BOPD sampai akhir tahun," kata Mamit.

Baca juga : Klub Malam Dibuka, Korsel Terancam Gelombang Ke-2 Corona

Belum lagi, AS juga mulai mengurangi produksi minyak mereka. Dengan demikian, permintaan akan meningkat ditengah supply yang berkurang, sehingga harga minyak dunia akan terus terkoreksi positif.  Ia juga mengingatkan, banyak variabel yang harus diperhatikan dalam menentukan harga BBM, terutama terkait dengan ketahanan energi dan stabilitas perekonomian nasional. Bisa dikatakan ini sangat kompleks.  

Stabilisasi harga BBM ini lebih ditujukan untuk ketahanan energi dan stabilitas perekonomian nasional. Bayangkan saja jika harga BBM itu naik-turun tidak menentu, pasti banyak aktivitas ekonomi yang terganggu. Apalagi saat ini tengah ada pandemi Covid-19. Hal ini juga terkait dengan ekosistem industri hulu-hilir migas nasional, dimana ada ribuan pekerja di dalamnya.

Opsi menurunkan harga BBM akan berpotensi mematikan bisnis sektor hulu migas nasional, sekaligus mendorong adanya PHK besar-besaran. Tentu saja, itu bukan opsi yang bijak di tengah banyaknya industri yang kolaps dan jutaan pekerja yang dirumahkan karena pandemi Covid-19. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.