Dark/Light Mode

Pemerintah Didesak Lakukan Spectrum Sharing Jaringan 5G Nasional

Sabtu, 26 Desember 2020 13:21 WIB
(Foto: Ilustrasi)
(Foto: Ilustrasi)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah telah memberikan lampu hijau kerjasama penggunaan spektrum radio pada teknologi baru. Director & Chief Technology Officer XL Axiata I Gede Darmayusa menyatakan, ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G.

Teknologi generasi kelima ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. 5G membutuhkan investasi yang besar dan haus akan bandwidth. "Kami mulai memikirkan melakukan spectrum sharing untuk teknologi baru," kata I Gede dalam keterangannya, Sabtu (26/12).

Direktur Rumah Reformasi Kebijakan Riant Nugroho menyatakan, jika masyarakat Indonesia ingin mendapatkan true 5G, maka setiap operator membutuhkan bandwidth minimal 100 Mhz dan contiguous. Permasalahannya, saat ini tidak tersedia spektrum frekuensi 100 MHz yang bersifat contiguous. Kecuali di frekuensi 2600 Mhz yang saat ini masih belum optimal untuk mendukung transformasi digital. Padahal, ekosistem 5G di dunia untuk frekuensi 2600Mhz sudah terbentuk.

Baca juga : Airlangga: Pemerintah Datangkan Vaksin Covid-19 Selain Sinovac

"Karena keterbatasan spektrum frekuensi radio untuk 5G, UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital. Semangat di UU Cipta Kerja harus diturunkan secara lurus dan sinkron ke Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Postelsiar yang sekarang ini sedang dibahas," harap Riant.

Lebih lanjut, Riant menyoroti pengaturan di RPP Postelsiar yang membatasi cakupan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru. Menurut pakar kebijakan publik ini, Pasal 49 ayat 1 seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR).

"Kerja sama spektrum frekuensi radio ini kan untuk penerapan 5G. Kalau tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita IPFR maka skala keekonomisan tidak akan tercapai. Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Ini perlu investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal," papar dia.

Baca juga : Gandeng Kemenkes, Menpora Bakal Bangun Laboratorium Anti Doping Internasional

Dia mendesak pemerintah sebagai regulator tidak bisa menggunakan pendekatan lama dalam alokasi spektrum frekuensi radio. Diingatkannya, spektrum frekuensi untuk 5G harus berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Operator yang mendapat alokasi spektrum frekuensi, mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G.

Konsekuensinya, lanjutnya, tentu hanya beberapa operator saja yang mendapatkan alokasi spektrum 5G. Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi pita spektrum frekuensi, dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G. Kerja sama tersebut dapat dilakukan di seluruh wilayah layanan dan di seluruh pita dalam IPFR. Skema seperti ini sudah diadopsi di Singapura.

"Seperti di Singapura, operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G dapat membuka kerja sama wholesale dengan operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum. Kebijakan tersebut perlu rasanya kita pertimbangkan," saran Riant. [MRA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.