Dark/Light Mode

Protes Diskriminasi Sawit

Jusuf Kalla Galak Di China

Senin, 29 April 2019 14:38 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla. (Foto : Dok. Setwapres).
Wakil Presiden Jusuf Kalla. (Foto : Dok. Setwapres).

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah menggaungkan protes terhadap perlakuan diskriminasi Uni Eropa atas minyak sawit Indonesia di forum internasional. Memanfaatkan Belt and Road Forum II, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tampil galak mengkritisi kebijakan Benua Biru.

Belt and Road Forum (BRF) II digelar di Beijing, China, 25 sampai 27 April. Pertemuan ini dihadiri sekitar 40 kepala negara/pemerintah. JK menyelipkan protes terhadap perlakuan diskriminasi sawit Eropa saat memberikan masukan dan pandangan Indonesia pada sesi 3 Leaders Roundtable BRF, di International Convention Center (ICC), Ji Xian, Hall, Beijing, Sabtu (27/04).

JK menentang perlakuan diskriminatif mengatasnamakan isu sustainable palm oil. “Sejak lama isu sustainability telah menjadi perhatian dari negara produsen. Ada bukti datanya. Sayangnya data itu tidak didengarkan (dicuekin-red),” ungkap JK.

JK menuturkan, perkebunan sawit memiliki peranan sangat penting untuk Indonesia. 16 juta warga Indonesia terlibat dalam perkebunan sawit. Produksi sawit di Indonesia telah berkontribusi terhadap target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). 

“Perlakukan diskriminasi itu terus dijalankan dan berpengaruh terhadap pencapaian SDGs Indonesia. Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan,” tegas JK.

Baca juga : Indonesia Protes Kebijakan Diskriminasi Sawit Uni Eropa di Brussel

JK berpandangan, tidak ada satu pun negara yang bisa mencapai SDGs sendiri tanpa sinergi dan kerja sama dengan negara lain, termasuk melalui BRF. “Kerja sama harus bersifat national-driven bukan donor atau loan-giver driven,” cetus JK.

Selain itu, lanjut JK, Kerja sama harus mempertimbangkan inklusivitas. Karena dengan pertimbangan tersebut BRF dapat menyejahterakan setiap negara yang tergabung di dalamnya. Kerja sama harus saling menguntungkan. Hal itu bisa dicapai melalui kepemimpinan kolektif dan saling berbagi tanggung jawab.

“Me first policy tidak dapat diterapkan, jika kita ingin citacita SDGs terpenuhi. Di situ lah prinsip-prinsip multilateralisme diperlukan. Dunia akan melihat dan mencatat apakah janji dalam kerja sama Belt and Road ini benar-benar akan membawa keuntungan bagi semua,” ujarnya.

Seperti diketahui, Uni Eropa membuat regulasi melarang penggunaan minyak sawit Indonesia (Renewable Energy Directive /RED II). Regulasi itu tinggal menunggu pengesahan saja pada 15 Mei mendatang. Pemerintah Indonesia pernah mengirimkan delegasi menemui otoritas tinggi di Uni Eropa namun hasilnya mengecewakan.

Untuk menghalau kebijakan itu, Indonesia akan melayangkan gugatan ke WTO (World Trade Organization) setelah regulasi nanti benar-benar disahkan.

Baca juga : Istri Menpora Dampingi Iriana Jokowi dan Mufida Kalla Lepas Kartini Run 2019

Sementara itu, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, dengan sikap ngotot Uni Eropa, kebijakan larangan sawit kemungkinan besar akan disahkan.

“Parlemen mereka matimatian membela minyak nabati mereka yang kalah saing dengan minyak sawit,” ungkap Bhima.

Bhima menuturkan, untuk menghadapi Eropa harus dengan langkah nyata. Bila mereka mengesahkan aturan itu, pemerintah juga harus bersikap tegas.

Bhima berharap, niat pemerintah menggandeng firma hukum berpengalaman benar-benar terealisasi. “Selama ini kita sering kalah di sidang WTO karena tidak didampingi firma hukum yang bagus,” ungkapnya.

Dekat Lewat Cheng Ho
Soal kerja sama dengan China, JK berharap, ke depan semakin erat. Dan, kerja sama saling menguntungkan. Apalagi, kerja sama kedua negara telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Baca juga : Isu Novel Adalah Orang Gerindra

JK menceritakan pengalamannya saat bertemu dengan Wakil Presiden China, Wang Qishan. Dituturkannya, Wang bertanya kepada dirinya tentang siapa yang pertama kali datang ke Indonesia, Portugis atau Belanda. Pertanyaan itu dijawab JK: bukan kedua negara itu. “Yang pertama datang itu Laksamana Cheng Ho. Dia tidak datang untuk menjajah Indonesia, tetapi datang untuk berdagang dengan Indonesia,” kata JK.

JK menuturkan, kerja sama antara Indonesia dan China saat ini hanya melanjutkan sejarah panjang kedua negara.

Saat ini, nilai perdagangan Indonesia-China mencapai 40 miliar dolar AS meski menyisakan masalah serius soal defisit perdagangan yang besar dari pihak Indonesia.

“Presiden Xi Jinping telah menjanjikan peningkatan impor Tiongkok dari Indonesia, termasuk hasil pertanian, buahbuahan, dan hasil industri yang sesuai dan barang tambang mineral yang telah diolah di Indonesia,” katanya.

JK mengatakan, Indonesia dan China memiliki perbedaan dalam sistem politik. Namun hal itu bukan masalah. Karena, sistem ekonomi kedua negara sama-sama pasar bebas. Indonesia harus bisa menyontoh kesuksesan China meski Indonesia menerapkan sistem demokrasi.  [NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.