Dark/Light Mode

Belajar Dari Inggris, Indonesia Kudu Optimalkan PLTU Batubara

Rabu, 29 September 2021 16:29 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia diminta mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batubara yang ada, ketimbang memaksakan menggunakan energi terbarukan yang belum siap dan mengorbankan pemenuhan kebutuhan listrik nasional. 

Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Inggris dan beberapa negara Eropa yang kini kembali menggunakan PLTU berbasis batubara untuk mengatasi krisis energi. 

Di sisi lain, untuk beralih ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia dinilai masih membutuhkan waktu lebih, mempersiapkan program transformasi yang jelas. 

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada wartawan, Selasa (28/9). 

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12 persen di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pake fosil, mereka  sudah 400 tahun pakai batubara, sejak era revolusi industri,” tutur Komaidi Notonegoro, Selasa (28/9). 

Baca juga : Garuda Indonesia Ajak Traveloka Kolaborasi

Pekan ini, krisis energi melanda Inggris dan beberapa negara Eropa. Ini menyadarkan mereka tidak bisa serta merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada energi baru terbarukan. Di saat sama, harga gas meroket 250 persen karena keterbatasan pasokan di Barat. 

Komaidi yakin, sejauh ini teknologi batubara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Ia melihat, pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.  

Ia mengatakan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini. Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan. 

Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batubara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya. 

“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi nya. Ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23 persen maksimal,” ujarnya.

Baca juga : Laris di Indonesia, OPPO Luncurkan Varian Baru A16

Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno juga menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan, harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target "zero carbon" tercapai pada 2060. Penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan, kini. 

"Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," katanya.

Eddy mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki road map energi hijau untuk 30 tahun mendatang, sebagai target zero energy carbon. Yang juga penting adalah pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon. 

Senada, Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, untuk Indonesia saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut. 

“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit. 

Baca juga : Menhub: Prokes Indonesia Diakui Dunia

Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia, lebih mahal dari barubara. 

Sekarang, lanjut Mamit, harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara. 

Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT. 

“Transisi itu akan tetap ada dan terjadi, bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batubara kita dihancurkan, tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan,” ujarnya [REN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.