Dark/Light Mode

Turki Kena Resesi Ekonomi

Jokowi Siap Payung Sebelum Hujan Besar

Kamis, 5 September 2019 07:51 WIB
Presiden Jokowi (Foto: Randy Tri Kurniawan/Rakyat Merdeka)
Presiden Jokowi (Foto: Randy Tri Kurniawan/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ancaman resesi global mulai terasa. Turki menjadi salah satu korbannya. Tak ingin Indonesia ikut-ikutan kena getahnya, Presiden Jokowi langsung mengumpulkan tim ekonomi. Membahas langkah- langkah antisipasi.

“Payung harus kita siapkan, kalau hujan besar kita tidak kehujanan,” kata Jokowi.

Peringatan ancaman resesi sebelumnya disampaikan Dahlan Iskan, pertengahan Agustus lalu. Mantan Menteri BUMN itu merujuk data perdagangan surat utang Amerika Serikat, 14 Agustus 2019.

Saat itu, untuk pertama kalinya selama 10 tahun terakhir, kurva imbal hasil surat utang pemerintah AS berbalik. Imbal hasil surat utang jangka panjang, lebih rendah dari imbal hasil jangka pendek. Menurut Dahlan, itu tanda-tanda akan terjadinya resesi.

Lima kali resesi dunia, sejak 1950, selalu dimulai dengan tanda-tanda itu. Peringatan kemudian juga datang dari Direktur Bank Dunia, Rodrigo Chaves, saat menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, awal pekan kemarin. Dalam pertemuan itu, Chaves memperingatkan Jokowi soal risiko resesi global yang semakin meningat. Kini, ancaman resesi itu sudah di depan mata.

Laporan ekonomi di sejumlah negara menunjukkan resesi sudah datang. Diawali di Turki. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 negeri itu dilaporkan minus 1,5 persen. Ini adalah pertumbuhan yang minus berturut-turut.

Baca juga : Tak Perlu Didesak, Perhatian Jokowi ke Papua Sudah Luar Biasa

Di kuartal I-2019, ekonomi Turki minus 2,4 persen. Rupanya, bukan hanya Turki yang sedang mengalami penurunan ekonomi. Setidaknya, ada 7 negara yang sedang dibayang-bayangi resesi. Di antaranya adalah Jerman, Meksiko, Brasil, Argentina, dan Hong Kong.

Melihat tanda-tanda ini, Jokowi cepat mengambil sikap. Kemarin, Jokowi menggelar rapat terbatas untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi dunia.Menurut dia, angka-angka menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global sudah mengalami perlambatan dan kemungkinan resesi akan semakin besar. Jokowi mengistilahkan resesi dengan hujan.

“Oleh sebab itu, payung harus kita siapkan. Kalau hujannya besar, kita nggak kehujanan. Kalau gerimis, kita yang gak kehujanan. Syukur nggak ada hujan dan nggak ada gerimis,” kata Jokowi saat membuka rapat.

Rapat itu dihadiri antara lain Wapres Jusuf Kalla, Menko Perekonomian Darmin Nasution, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Menurut Jokowi, cara paling cepat mengantisipasi resesi adalah penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/FDI). “Kuncinya hanya ada di situ. Ndak ada yang lain. Kuncinya hanya ada di situ,” ujarnya.

Karena itu, Jokowi minta seluruh kementerian menginventarisir aturan-aturan yang menghambat dan memperlambat investasi. Sepekan ke depan, Jokowi akan menagih kerja kementerian dalam menyederhanakan peraturan.

Baca juga : Sri Mulyani Bicara Krisis Ekonomi Dunia, Selamat Apa Kiamat...?

Dalam rapat ini, Jokowi tak bisa menutupi kekecewaannya terhadap persoalan klasik ini. Ia lalu menceritakan bagaimana Indonesia tidak dilirik para investor. Kata dia, 2 bulan lalu ada 33 perusahaan yang memindahkan investasinya dari China. Sebanyak 23 memilih pindah ke Vietnam, 10 lainnya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. “Nggak ada yang ke kita. Dari 33, sekali lagi, tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digarisbawahi. Hati-hati. Berarti, kita punya persoalan yang harus kita selesaikan,” ungkapnya.

Menurut Jokowi, investor memilih negara lain, seperti Vietnam, karena di sana hanya butuh dua bulan untuk menyelesaikan proses pemindahan investasi. Sedangkan proses pemindahan investasi ke Indonesia, butuh waktu bertahun- tahun.

Menko Darmin Nasution menceritakan masuknya modal asing akan jadi bantalan untuk menghadang resesi. Kalau investasi masuk, artinya ada valuta asing yang masuk. Sehingga, bisa memperbaiki neraca berjalan yang sedang defisit.

Pemerintah pun bertekad memangkas proses perizinan secara besar-besaran dalam dua bulan mendatang. “Izin-izin yang tidak terlalu penting, katakanlah rekomendasi, akan dihapus,” kata Darmin, usai rapat.

Terkait hal ini, Pengamat Ekonomi Indef Enny Sri Hartati mengatakan, ada dua catatan yang perlu diperhatikan menghadapi resesi. Yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah resesi di luar. Sedangkan faktor internal adalah kondisi ekonomi dalam negeri. Untuk guncangan ekonomi di Turki, Hong Kong, dan Argentina, Enny memandang hal itu tak terlalu berpengaruh bagi Indonesia.

Yang perlu dikhawatirkan adalah jika guncangan ekonomi terjadi di AS.

Baca juga : Situasi Mulai Normal, Jokowi Siap Undang Tokoh Papua ke Istana

“Ini akan berdampak kepada dunia. Termasuk Indonesia,” kata Enny, saat dikontak Rakyat Merdeka, tadi malam.

Apakah Indonesia rentan terhadap resesi? Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, mengakui dampak perang dagang AS- China mempengaruhi ekonomi dunia dan menimbulkan ketidakpastian yang tinggi. Indonesia tentu terpengaruh karena merupakan mitra dagang kedua negara adidaya itu. Namun, dia yakin Indonesia tahan terhadap resesi.

Pasalnya, ekonomi Indonesia masih kredibel dan tumbuh dengan baik. “Dari sisi makro ekonomi, kita juga masih bagus. Moneter dan fiskal kita luar biasa bagus dan kredibel,” kata Destry, kemarin.

Apa kita punya daya tahan? “Saya lihatnya masih punya. Ekonomi domestik kita kuat,” ucap Destry. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.