Dark/Light Mode

BMKG Perkuat Teknologi Mitigasi Perubahan Iklim

Kamis, 5 Desember 2019 19:27 WIB
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia, pada Konferensi Perubahan Iklim ke 25 di Chile Madrid.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia, pada Konferensi Perubahan Iklim ke 25 di Chile Madrid.

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah terus memperbarui teknologi pemantauan cuaca dan iklim. Langkah ini penting agar kebijakan mitigasi perubahan iklim bisa ditentukan dengan tepat. 

Pembaruan teknologi itu juga penting untuk menentukan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim yang diperlukan. 

Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, gejala perubahan iklim sudah terjadi. Salah satunya, bisa dilihat dari fenomena iklim El Nino dan La Nina. 

“Terjadinya El Nino-La Nina pada periode 1981-2019 mempunyai kecendrungan berulang semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980,” kata dia saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia, pada Konferensi Perubahan Iklim ke 25 di Madrid, Spanyol, Rabu (4/12).

Perubahan iklim yang terjadi adalah buntut dari terus meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. 

Menurutnya, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) tercatat paling tinggi dalam sejarah dengan CO2 (karbondioksida) mencapai 405.5 ppm (part per million), CH4 (metana) sebanyak 1859 ppb (part per billion) and N2O (dinitrogen monosida) mencapai 329.9 ppb. 

Catatan tersebut, berarti konsentrasi GRK sudah mencapai masing-masing 146%, 257% dan 122% di atas masa pra revolusi industri. 

Baca juga : Pipindo Janji Perkuat Industri Pertahanan

Menghadapi situasi tersebut, Indonesia terus memperbaiki teknologi pemantauan iklim dan cuaca. 
Sistem observasi yang ada di lapangan diperkuat dengan dukungan sistem informasi. 

Hal ini bisa memberikan hasil pemantauan iklim dan cuaca sesuai kebutuhan masyarakat.

Berkat pembaruan teknologi pemantauan itu, prediksi yang awalnya hanya bisa dalam jangka waktu tiga sampai empat harian-sepuluh harian berturut turut, kini bisa dilakukan hingga tiga bulan ke depan. 

Ia mengatakan, bahwa Indonesia kini juga bisa membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim, mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim.

“Penggunaan teknologi pemantauan terbaru penting agar masyarakat yang terdampak perubahan iklim juga bisa melakukan adaptasi,”ujarnya. 

Menurut dia, petani dan nelayan adalah pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Hal itu dikarenakan, petani Indonesia dulu berpegangan pada pengetahuan lokal yang disebut pranoto mongso. 

Pengetahuan ini memberi panduan petani terkait waktu tanam, jenis tanaman dan berbagai hal tentang budidaya pertanian lainnya. 

Baca juga : Di COP25, Gus Imin Bicara Ancaman Perubahan Iklim

“Namun perubahan iklim telah membuat disrupsi pranoto mongso. Ketika masuk waktu tanam, malah tidak bisa karena tidak turun hujan,” katanya.

Merespon situasi tersebut, sudah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatan adaptasi petani dan nelayan terhadap perubahan iklim. 

Petani akan dibimbing untuk mengembangkan pola budidaya pertanian baru menyesuaikan perubahan iklim yang terjadi. 

Sementara nelayan akan mendapat pembinaan sehingga bisa memahami cuaca lautan lebih baik dan mengetahui lokasi keberadaan ikan. 

“Ini mengubah paradigma nelayan dari ‘mencari ikan’ menjadi ‘menangkap ikan’,” katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Informasi dan Geospasial Hassanuddin Z Abidin  menyatakan, informasi geospasial sangat bermanfaat untuk manajemen pengurangan risiko kebencanaan.

Menurut Hassanudin, Indonesia secara alami rawan dengan berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi. 

Baca juga : Genjot Ekonomi BIMP-EAGA Lewat Kolaborasi Pengusaha dan Pemda

Bencana alam terkait hidrometerologi seperti banjir longsor serta kekeringan dan kebakaran lahan menjadi tren pada periode tahun 2003-2018. Padahal, sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di wilayah rawan bencana. 

“Informasi spasial seperti peta dasar dan tematik mendukung pengurangan risiko bencana,” katanya. 

KLHK mencatat, ada 2.086 lokasi setingkat Desa/Kelurahan dan Dusun/RW telah teregistrasi sebagai Kampung Iklim. KLHK juga  memberikan penghargaan kepada sejumlah 187 penerima Trophy-184 Kategori ProKlim Utama dan 3 Kategori ProKlim Lestari.

Hassanudin melanjutkan, pihaknya juga bisa menyediakan informasi terkait cadangan karbon di lapangan untuk mendukung diperolehnya kebijakan pengelolaan lahan yang tepat. [FIK]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.