Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Ratas Dengan KLHK

Presiden Setuju Nilai Ekonomi Karbon Diatur

Selasa, 7 Juli 2020 21:43 WIB
Presiden Jokowi setuju aturan Carbon dalam penurunan emisi gas.
Presiden Jokowi setuju aturan Carbon dalam penurunan emisi gas.

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Jokowi setuju adanya kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing. Aturan itu untuk mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya di Jakarta, Selasa (7/07).

"Dalam rapat terbatas, saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerja sama Indonesia - Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon. Presiden setuju tentang kebijakan NEK," kata Siti.

Di ratas tersebut, Presiden Jokowi meminta agar Indonesia harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan gas rumah kaca, kemudian juga perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan serta perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya perlindungan hutan dan pemulihan habitat harus dipastikan betul-betul jalan di lapangan. 

Presiden juga menekankan agar kejadian Karhutla harus diantisipasi sebaik mungkin dengan kerja sama yang baik semua pihak.

Baca juga : Cara Berpakaian Presiden Di Indonesia, Soekarno Paling Stylish

Siti mengungkapkan, bahwa potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Menteri LHK mengusulkan, pengaturan NEK berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon, Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan. 

Jika Perpres ini telah disetujui, maka KLHK mampu menyusun road map ekonomi karbon untuk jangka panjang.

Sebagai gambaran, Siti menjelaskan jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua  sebesar 34 juta ha. 

Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera  dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalimantan tengah berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha. 

Baca juga : Trump Yakin Ekonomi Senjata Ampuh Menangi Pilpres

Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8  ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha. 

Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan Indonesia dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar. 

"Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya," tuturnya.

Sebagai perbandingan Siti menyebut jika keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Jokowi telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia. 

Atas keberhasilan tersebut,  Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta dolar AS,  atau lebih dari Rp 840 miliar rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010. 

Baca juga : Gandeng IPB, Mandiri Kembangkan Ekonomi Syariah

"Setelah pembayaran RBP pertama tersebut akan dilaksanakan pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya, yang akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)" imbuhnya 

Pada kesempatan itu, Eks Sekjen DPD ini melaporkan bahwa penanganan deforestasi  harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi Indonesia, dan perlindungan sasaran pembangunan nasional Indonesia, sedangkan metode yang dipakai harus didasarkan pada SNI yang telah ada, dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan nasional. [FIK]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.