Dark/Light Mode

LSI Denny JA: Publik Lebih Cemas Ekonomi Ketimbang Corona

Jumat, 12 Juni 2020 20:47 WIB
Peneliti LSI, Denny JA, Rully Akbar saat memaparkan riset terbaru lembaganya, Jumat (12/06)
Peneliti LSI, Denny JA, Rully Akbar saat memaparkan riset terbaru lembaganya, Jumat (12/06)

RM.id  Rakyat Merdeka - Setelah melewati lima hingga enam bulan dicekam oleh pandemi, terjadi pergeseran bentuk kecemasan.

Kini, masyarakat lebih cemas oleh kesulitan ekonomi dibanding virus corona.

"Bahkan kecemasan ancaman kesulitan ekonomi melampaui kecemasan terpapar virus corona," begitu ungkap Peneliti LSI, Denny JA, Rully Akbar saat memaparkan riset terbaru lembaganya, Jumat (12/06).

Riset dilakukan dengan menganalis data sekunder dari berbagai sumber dari dalam dan luar negeri. Ada tiga sumber data LSI yang gunakan untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan.

Pertama, data Galup Poll (2020), lembaga survei opini publik berpusat di Amerika Serikat.  Pada periode 6-12 April 2020, kecemasan atas virus corona berada di angka 57 persen.

Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi berada di angka 49 persen.  Namun periode 11-17 Mei 2020, angka kecemasan itu sudah bergeser. Kecemasan publik atas virus corona menurun ke angka 51 persen.

Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi menanjak melampaui kecemasan atas virus di angka 53 persen.

Baca juga : Dana Pemulihan Ekonomi Bengkak, Core Usul Pemerintah Cetak Uang

Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada tanggal 26 Mei- 1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telefon atas 1200 responden Indonesia yang dipilih secara random.

Hasilnya, 25.3 persen publik khawatir terpapar oleh virus corona. Namun lebih besar lagi, sekitar 67,4 persen publik khawatir akan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan.

Ketiga, riset eksperimental yang dilakukan LSI pada Maret- Juni 2020. Ini bukan survei opini publik tapi riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden. 

Total responden berjumlah 240 mahasiswa.  Kerusuhan Sosial Di sisi lain, LSI juga menemukan lima alasan mengapa di Indonesia juga mengalami pergeseran dari kecemasan terpapar oleh virus corona beralih dan dikalahkan oleh kecemasan terpapar virus ekonomi.

Pertama, meluasnya berita kisah sukses banyak negara. Cukup massif berita media konvensional ditambah media sosial memberitakan banyak negara sudah melampaui puncak pandemik.

Virus corona di negara tersebut relatif bisa dikendalikan, walau vaksin belum ditemukan.  Negara yang sering diberitakan sukses adalah Selandia Baru, Jerman, Hong Kong dan Korea Selatan. 

Kedua, meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus corona. Social distancing, cuci tangan, masker adalah tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu.

Baca juga : Kemenhub Luncurin Teman Bus Di Palembang

Terbentuk pesan kuat, walau vaksin belum ditemukan, manusia punya alat lain untuk melawan, untuk melindungi diri.

"Ditemukannya protokol kesehatan yang efektif ini juga mengurangi tingkat kecemasan. Tidaklah benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus walau vaksin belum ditemukan," ungkap Rully.

Ketiga, tabungan ekonomi umumnya semakin menipis. Semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga.

Di saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan kongkret.

Keempat, jumlah warga yang secara kongkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus corona.

Menaker melaporkan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ditambah yang dirumahkan hingga Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang.

Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal.

Baca juga : Mengenal Lebih Dekat KB Kookmin Bank

Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35 ribu warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2 ribu warga.

Jika kita bandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan, juga di sektor informal) vs terpapar virus corona: 7 juta vs 35 ribu.

Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih massif, lebih dirasakan banyak orang.

Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus corona semakin landai dan menurun.

Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan.

Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.

"Ancaman kelaparan dan kesulitan ekonomi itu riil dirasakan Mereka mudah sekali dipantik untuk memulai kerusuhan sosial. Harus dijaga agar krisis kesehatan tidak berubah menjadi krisis sosial, lalu menjadi krisis politik," ingat Rully. (FAQ)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.