Dark/Light Mode

Memutus Mata Rantai Generasi Stunting

Rabu, 26 Oktober 2022 13:20 WIB
Foto: Kemenkes
Foto: Kemenkes

Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

(*)

Baca juga : Relawan Mak Ganjar Jatim Gelar Doa Bersama untuk Indonesia

    Banyak pemerintah daerah yang akhir-akhir ini sedang menghadapi masalah stunting di wilayahnya. Merujuk kepada data yang dikemukakan oleh Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), pada tahun 2021 saja, sebanyak 24,4%, setara 1 dari 4 anak balita di Indonesia mengalami stunting.  
    Stunting adalah gangguan pertumbuhan akibat gizi kronis. Namun jika dipotret lebih luas, stunting adalah fenomena akumulatif dari persoalan ekonomi, sosiologi,  antropologi, dan kebijakan publik. Persoalan yang dihadapi oleh banyak keluarga stunting bukan semata-mata masalah gizi, atau asupan gizi kepada anak saja, tapi juga berkaitan persoalan perspektif atau cara pandang suatu keluarga terhadap kehidupannya itu sendiri, yang kemudian dipengaruhi beragam faktor.  
    Jika masalah stunting ini tidak segera diatasi, akan berpotensi menjadi ancaman bagi keberlanjutan peradaban sebuah bangsa. Karena jika generasi stunting ini semakin banyak, padahal dia sedang beranjak pada usia yang seharusnya produktif, alih-alih menjadi potensi yang bisa menghasilkan lompatan kebudayaan, yang terjadi justru sebaliknya. Entitas ini akan menjadi beban bangsa, karena faktanya, stunting secara subjektif sudah mengalami problem atau masalah dirinya sendiri.
    Dengan demikian penyelamatan generasi stunting harus menjadi salah satu prioritas bangsa ini. Karena mengatasi masalah generasi stunting tidak kalah strategis dengan membangun berbagai proyek berbasis fisik seperti jalan, jembatan, dan berbagai kantor pelayanan publik yang baik dan modern.
    Jika diurai lebih dalam mengapa generasi stunting ini muncul, seperti sudah di singgung di atas, adanya generasi stunting tidak hanya persoalan ekonomi. Karena ada banyak kasus anak-anak yang terkategori stunting, mereka hidup dalam sebuah keluarga yang memiliki pendapatan tetap.
    Jika demikian halnya, lalu apakah yang membuat seorang anak pada suatu keluarga justru mengalami asupan gizi yang kurang? Jika dilihat dari perspektif ekonomi, memang problem hadirnya generasi stunting pada sebuah keluarga itu akibat persoalan pendapatan yang tidak cukup, atau pendapatan yang tidak tetap, bisa menjadi salah satu penyebabnya.
Sebab pada banyak keluarga yang punya pendapatan pas-pasan atau malah kurang, tentu akan sukar mengalokasikan pendapatannya itu untuk memenuhi kebutuhan gizinya.  
    Namun faktor sosiologis juga memberikan pengaruh. Misalnya, pemahaman keluarga tentang gizi serta kemauan menggali informasi tentang bagaimana menghasilkan asupan-asupan bergizi bagi anak-anak mereka yang demikian kurang.
    Terlebih lagi dunia sosial sehari-hari kita dihajar oleh iklan-iklan yang menawarkan beragam makanan instan, yang tentu saja, selain lebih mahal, tetapi juga bisa jadi gizinya kurang sekali.
Praktik ini ternyata juga terjadi pada keluarga-keluarga yang sudah memiliki pendapatan tetap. Mereka terpengaruh dengan makanan-makanan instan itu dengan alasan karena sudah kelelahan bekerja, atau anak-anak tidak menyukainya, sehingga pilihan-pilihan mengambil makanan instan itu terasa masuk akal.
    Secara antropologis, persoalan stunting bisa dilihat dari memudarnya budaya lokal seperti bercocok tanam pada unit keluarga sendiri. Padahal dulu, sejak peradaban berpindah dari berburu menjadi peramu lalu kemudian pertanian, sebagian masyarakat atau manusia melakukan upaya-upaya memenuhi kebutuhan hariannya secara mandiri. Dengan upaya ini, selain persoalan pemenuhan gizi keluarga tercukupi, juga mengurangi ketergantungan dan beban harian.  
Lalu bagaimana mengatasi generasi stunting ini agar tidak berkelanjutan. Berikut sejumlah usulan yang bisa dilakukan. Pertama, tentu saja edukasi masyarakat perlu dihidupkan kembali dengan lebih masif. Misalnya, kelompok-kelompok kecil yang menghimpun keluarga-keluarga di kota atau di tempat-tempat di mana pusat-pusat generasi stunting ini dikumpulkan, diberikan pengetahuan dan informasi, bagaimana supaya tidak ada generasi stunting di keluarganya.
    Selain pengetahuan, perlu juga tindakan-tindakan nyata, seperti setiap keluarga harus dipastikan, mereka mengalokasikan sekian bidang lahan yang dimiliki untuk menanam tanaman yang bermanfaat serta bergizi tinggi. Adapun bahan-bahannya disiapkan pendamping masyarakat. Sedangkan mekanisme penanaman  bisa menyesuaikan keadaan.
    Inti kegiatan ini, agar mereka menyadari bahwa di antara penyebab adanya generasi stunting adalah karena persoalan pemahaman bukan (hanya) pendapatan.
    Kedua, tentu saja harus ada partisipasi aktif berbagai pihak, baik pemerintah daerah maupun pemerintah di level RT-RW, untuk sama-sama memerhatikan generasi ini. Perhatian yang lebih bisa menjadikan generasi ini bebas dari keadaan stunting dan akhirnya siap menjadi generasi produktif dan aktif, yang bisa diandalkan sebagai bagian gelombang perubahan.
    Ketiga, selain pada level keluarga, yang harus diatasi adalah pada level pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) bahkan Kelompok Bermain (KB) sampai SD dan SMP. Di mana pemerintah mesti menggelontorkan dana untuk anak-anak usia produktif, tapi mengalami stunting, agar langsung mengkonsumsi makanan-makanan bergizi itu ketika mereka di sekolah.  
    Sebagai contoh, jika di sebuah sekolah ada 20 siswa yang terkategori stunting, maka setiap dua hari pihak sekolah mengadakan sarapan bersama atau makan siang bersama bagi mereka ini. Dengan makanan yang disiapkan pemerintah atau sekolah, mereka dalam setiap minggu setidaknya bisa mendapatkan makanan berkualitas dan bergizi baik di sekolahnya. Sebab biasanya anak-anak akan lebih mudah menurut kepada gurunya, meski mungkin makanannya itu kurang disukai.  
    Keempat, pelajaran tentang gizi harus menjadi bagian materi penting yang wajib diajarkan sejak dini. Anak-anak harus memahami dengan benar, apa saja makanan yang bergizi, tapi murah atau terjangkau dan mudah dibuat atau diperoleh dari lingkungan tempat tinggal.
    Jika dari kelas playgroup sudah mendapatkan pengetahuan tentang jenis-jenis makanan bergizi dengan jenis yang tidak terlalu banyak, paling tidak anak-anak ini bisa mengetahui dan memahami serta bahkan mengonsumsinya sejak dini.  (*)


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.