Dark/Light Mode

Catatan Agus Sutoyo

I La Galigo Dalam Perspektif Literasi

Sabtu, 17 Juni 2023 10:49 WIB
Agus Sutoyo (Foto: Dok. Perpusnas)
Agus Sutoyo (Foto: Dok. Perpusnas)

RM.id  Rakyat Merdeka - Karya sastra klasik yang berkaliber dunia selalu saja memberikan deretan kejutan baru. Bahkan, daya pikatnya semakin kuat karena gagasan yang dikandungnya laksana mata air yang tak pernah kering. Barangkali, itulah predikat terpantas yang disematkan terhadap warisan sastra adiluhung dari Tanah Bugis, seperti I La Galigo. Ia hadir, dan mengisi pesona khazanah susastra klasik dunia dari pelbagai segmensinya.

Ya benar sekali, memang I La Galigo yang mendunia itu sebuah karya warisan nusantara yang patut dibanggakan generasi Indonesia. Terutama generasi muda yang perlu didekatkan, dikenalkan kembali, sehingga mereka bisa memahami begitu maha dahsyatnya magnum opus yang diciptakan nenek moyang kita hingga tetap terjaga sampai hari ini.

Sederet sarjana, seniman, dan budayawan mengambil perhatian terhadapnya. tak sedikit karya seni lahir yang terinspirasi dan tertransformasi dari narasi La Galigo. Ceritanya tak luput disadur, selalu saja memberi kejutan estetik nan bermutu. Banyak tulisan ilmiah yang muncul dari beragam sudut pandang.

La Galigo tak habis-habisnya dikupas, dibincangkan satu konferensi ke konferensi lainnya. Ia selalu saja apik, mempesona, dan tak pernah usang. Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa La Galigo terus-menerus dibincangkan, dikaji, dicerna, dan diresapi. Ia adalah menu peradaban sastra yang sungguh lezat.

Naskah kuno nusantara atau manuskrip yang tersimpan dan ada di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI cukup besar dan beragam. Kekayaan bangsa warisan nenek moyang kita begitu hebat kandungan isinya, mempunyai nilai-nilai budaya, agama, sosial, seni, pengobatan kesehatan dan lain sebagainya. Maka tak salah jika Unesco memberikan penghargaan sebagai memory of the world bagi naskah kuno nusantara seperti Babad Diponegoro, Cerita Panji, Negara Kertagama, Hikayat Aceh, dan I La Galigo.

Maka, tak salah jika Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando yang juga putra Bugis selalu mendorong para pustakawan menggali mengkaji dan mempopulerkan naskah-naskah kuno untuk masyarakat. Marena menurutnya masyarakat perlu mendapatkan informasi yang akurat akan kekayaan naskah-naskah kuno nusantara yang dapat menjadi bahan pembelajaran kehidupan.

Naskah kuno I La Galigo yang merupakan identitas bersama dan intangible heritage yang dapat digolongkan sebagai tradisi lisan atau cerita. I La Galigo sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan, yang sampai hari ini masih tetap menjadi semacam icon sebuah karya klasik yang mampu merespons kondisi sosial saat ini. Sejalan dengan itu, memori kolektif juga bersifat dinamis yang tergantung pada kondisi sosial yang ada. Memori kolektif tidak hanya terbatas pada masa lalu yang dibagi bersama, melainkan representasi dari masa lalu yang diwujudkan dalam berbagai praktek budaya, khususnya commemorative simbol.

Baca juga : Stunting Dan Potensi Generasi Indonesia Cemas 2045

Oleh karena itu, pemilihan identitas budaya Sulawesi Selatan juga haruslah merupakan memori kolektif yang berupa sistem budaya yang terlihat dari prilaku (sistem sosial) dan hasil kebudayaan fisik manusia. Menurut Prof. Mukhlis Hadrawi, Guru Besar Universitas Hasanuddin, I La Galigo dipilih sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan. Karena La Galigo merupakan rujukan bagi Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka.

La Galigo sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan. Pertama, I La Galigo adalah anak seorang manusia keturunan Dewa bernama Sawerigading. Dalam berbagai cerita La Galigo, Sawerigading menjadi tokoh di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Sawerigading memiliki simbol mitologis berupa kebudayaan materi yang bersifat sakral. Dalam tradisi lisan La Galigo, terdapat tokoh Sawerigading yang dianggap sebagai pelaut ulung, yang pelayarannya sampai ke negeri China. Dalam pengembaraannya tersebut, ia digambarkan singgah di suatu tempat yang memunculkan cerita-cerita yang berkaitan dengannya.

Kehadirannya tersebut selalu dikaitkan dengan asal usul raja setempat dan berdirinya daerah tersebut, bahkan di daerah tersebut selalu terdapat benda-benda yang berhubungan dengan Sawerigading. Contohnya di dekat Malili, terdapat Gunung Belah (bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa pohon Welenreng yang ditebang oleh Sawerigading untuk dijadikan perahu. Salah satu alasan La Galigo merupakan ingatan dunia karena naskahnya diperkirakan dua kali lebih panjang dibandingkan naskah Mahabarata dan Ramayana.

Naskahnya tersebar di beberapa negara, yaitu Indonesia (Jakarta dan Makassar), Belanda (Leiden), Inggris (London dan Manchester), Jerman (Berlin), dan Amerika Serikat (Washington DC) baik sebagai koleksi pribadi maupun publik. Selain itu, La Galigo beberapa kali dipentaskan. La Galigo berisi tentang peraturan normatif yang berisi tentang etik, tingkah laku (Mukhlis Paeni dan Tol, 2010: 6), dan tata cara kehidupan sehari-hari (peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain-lain).

Penyebaran legenda La Galigo atau Sawerigading terjadi melalui tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut kemudian direkam dalam naskah La Galigo yang dipandang sebagai rekaman nilai-nilai luhur dan pedoman ideal dalam masyarakat. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang tidak memiliki alat perekam tulisan, maka cerita rakyat Sawerigading tetap berada dalam kenyataan tradisi lisan yang dipelihara dari generasi ke generasi. Implikasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo terlihat pada prilaku masyarakat Sulawesi Selatan.

Naskah La Galigo dianggap sebagai sesuatu yang disakralkan dan dipercayai dapat menyembuhkan penyakit, membuat kebahagiaan dalam hidup, dan mencegah bencana alam (Depdikbud, 1986: 26). Hal ini terlihat pada naskah-naskah tempat menuliskan La Galigo dianggap sebagai benda yang mempunyai kekuatan magis. Di dalamnya dianggap bersemayam para roh tokoh suci yang terdapat dalam cerita La Galigo, baik buruknya kehidupan manusia adalah tergantung bagamana manusia memperlakukannya.

Perspektif Literasi

Mari kita lanjutkan literasi ini. Menurut A.A. Cense (1972), naskah Bugis-Makassar mempunyai nilai yang tinggi, maka sangatlah penting sebagai sumber maklumat sejarah lokal Sulawesi Selatan. Cense menambah bahwa naskah-naskah Bugis dan Makassar itu menarik bagi dirinya ke atas bahan-bahan sejarah yang dijumpainya. Jika membandingkannya dengan apa yang tercatat sebagai cerita-cerita sejarah di daerah Indonesia yang lain, maka terlihat betapa ringkas dan realistik orang Bugis-Makassar mencatat fakta-fakta kehidupannya ke atas naskah nusantara.

Baca juga : Tampilkan Politik yang Bermartabat, Pembelajaran Bagi Generasi Muda

Sehubungan itu, R.A. Kern pula mengatakan bahawa naskah Bugis dan Makassar yang memiliki kualitas tinggi itu memberi kesan bahawa orang Sulawesi Selatan mencatat perkara-perkara yang berlaku secara sederhana dan polos. Antara Kualitas naskah-naskah lontara itu telah membuatnya menjadi bahan penting untuk dimanfaatkan orang Eropa dalam pembuatan catatan serta penulisan sejarah-sejarah lokal kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar.

Naskah I La Galigo merupakan naskah terpanjang. Naskah terinventarisasi dengan nomor NBGBoeg 188, ditulis pada pertengahan abad ke-19 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (sebuah kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). I La Galigo ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran 34x21,5 cm beraksara dan berbahasa Bugis, dengan nomer koleksi VT 125J. I La Galigo merupakan sebuah epik mitos penciptaan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan. Naskah ditulis dalam bentuk puisi terdiri dari sajak bersuku lima. Selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dalam perantauannya. La Galigo disusun dengan puisi indah yang mengandung narasi petualangan, pertempuran, dan cerita imaginatif dalam idiom bahasa Bugis.

Meskipun di Sulawesi Selatan terdapat manuskrip La Galigo yang menjadi koleksi pribadi, namun pemiliknya kurang memahami arti penting naskah tersebut dan beranggapan naskah tersebut sakral dan magis. Menurut mereka di dalam naskah tersebut bersemayam para roh tokoh suci yang terdapat dalam cerita La Galigo, baik buruknya kehidupan manusia tergantung bagaimana sang pemilik memperlakukannya. Selain itu, pengetahuan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap La Galigo semakin berkurang. Agar diingat sebagai identitas budaya masyarakat Bugis khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya, La Galigo bahkan dijadikan sebagai nama jalan, universitas, dan museum. Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La Galigo didirikan pada tanggal 1 Mei 1970 oleh pemerintah.

Warisan intelektual ini (naskah kuno) adalah kunci untuk memahami masa lalu dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia terkait masa depan (These heritage [manuscripts] are the key to understand the past, and answer the questions of our future) (anonim). Pada awalnya museum La Galigo bernama Celebes Museum yang didirikan pada tahun 1938 oleh pemerintah Nederlands Indie (Hindia Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota Gouvermenent Celebes Onderhoorighden (Pemerintahan Sulawesi dan daerah taklukannya). Pada masa pendudukan Jepang kegiatan Celebes Museum terhenti.

Setelah pengakuan kedaulatan, kalangan budayawan merintis kembali pendirian sebuah museum dan terealisasi pada tahun 1966 meskipun belum resmi. Museum ini baru pada tahap persiapan dan pengumpulan koleksi dari budayawan. Pada tanggal 1 Mei 1970 museum ini dinyatakan berdiri secara resmi dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 dengan nama Museum La Galigo. Pemberian nama La Galigo pada museum ini didasari pada suatu pemikiran dan pertimbangan atas makna yang terkandung di dalamnya.

Cerita yang terkandung dalam naskah La Galigo tidak hanya dikenal di daerah Bugis, tetapi juga di Makassar, Toraja, Selayar, Massenrempulu, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. I La Galigo juga dianggap sebagai warisan dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, sehingga I La Galigo dijadikan sebagai nama sebuah museum. I La Galigo sendiri merupakan nama seorang putera dari pernikahan Sawerigading Opunna Ware dengan puteri We Cudai Daeng ri Sompa. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Luwu pada abad ke-14.

Naskah kuno nusantara merupakan sumber pengetahuan yang mendukung transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah nusantara memegang peranan penting dalam memahami warisan intelektual ulama Indonesia. Dengan mempelajari naskah nusantara, kita dapat mewarisi intelektualitas dan peran ulama Indonesia dalam membentuk dan membangun peradaban Islam di Nusantara serta turut berkontribusi dalam perdamaian dunia. Maka tak salah jika Prof. Mukhlis Hadrawi Guru Besar Universitas Hasanuddin menyebut mahakarya I La Galigo dari sentuhan filologis ke kreativitas literasi, ia adalah suatu mitologi yang disusun dalam satu sistem yang lebih menonjol sebagai sebuah karya sastra dari pada karya antropologi.

Baca juga : Dana Pemda Terus Mengendap Saat Banyak Jalan Daerah Rusak

Sementara, menurut Faisal Oddang yang membahas soal transformasi teks dan konteks La Galigo dan adaptasinya mengatakan bahwa sesungguhnya telah banyak produk interteks La Galigo, seperti Robert Wilson, ia mengatakan dibawa berkeliling berbagai negara dalam bentuk teater, Sapardi Djoko Damono dan John McGlynn menerbitkan buku puisi dwibahasa berjudul The Birth of La Galigo, berbagai novel, cerpen, puisi, jurnal, makalah dan hasil penelitian lahir pula. Tanpa bermaksud mengesampingkan semua respons tersebut, jika dibandingkan dengan epik, sastra klasik, dongeng atau mitologi dari belahan dunia lain tentu dengan berbesar hati kita harus mengakui keterbacaan La Galigo jauh tertinggal dari Iliad, Odyssey, Ramayana, Gilgamesh, mitologi Yunani atau Nordik, dan bahkan dongeng-dongeng Grimm Bersaudara.

Kira-kira apa penyebabnya jika ingin mengaitkan dengan konteks La Galigo, maka padangan kritikus sastra Amerika, Harold Bloom, cukup penting untuk direnungi, katanya: orang Inggris masih membaca Shakespeare, bahkan mungkin lebih banyak lagi jumlah mereka sekarang ini. Namun, tampaknya drama-drama itu tidak lagi bisa menyentuh pembaca masa kini yang berada di zaman dan situasi yang berbeda dengan zaman penulisannya. Penegasan Bloom dalam pandangannya tentu pada jarak penulisan dan pembacaan yang juga menciptakan jarak pembaca dari teks, dengan merenungi hal tersebut, tentu akan muncul pemikiran untuk memangkas jarak yang ada.

Oleh karena itu, kita harus mampu untuk mengangkat kembali naskah kuno, bukan saja I La Galigo, termasuk semua naskah-naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI, masing-masing punya kekhasan dan cerita tersendiri yang perlu dialihbahasakan. Maka untuk mengangkat itu ke pentas nasional maupun dunia, selayaknya I La Galigo tadi dibutuhkan kreativitas, syair-syair yang dituangkan dalam bentuk drama atau teater dengan bahasa dibalut dengan bahasa populer kekinian, maka tidak mustahil menjadi sebuah epik yang menarik dan diminati. Dalam hal ini, para penggiat sastra atau seni teater ditantang untuk merekayasanya sedemikian rupa, lalu menampilkan, mementaskannya dalam panggung yang baru dengan tetap mengusung misinya yang semula sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat milenial. Menghadirkan naskah kuno, sastra adiluhung ini semisal I La Galigo kepada generasi pewaris dan masa depan bangsa harus ada kepedulian kita semua. Salam Literasi.***

Agus Sutoyo, Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.