Dark/Light Mode

Kuminih yang Disadarkan A.R Sutan Mansur

Minggu, 1 Oktober 2023 21:54 WIB
Propagandis PII Abdullah Kamil (kiri) dan Hamka (kanan). (Foto: Istimewa)
Propagandis PII Abdullah Kamil (kiri) dan Hamka (kanan). (Foto: Istimewa)

Nama Abdullah Kamil memang tidak familiar dalam lembaran sejarah Minangkabau. Namun, ia dikenang menjadi bagian dari historiografi–terutama yang ditulis oleh sejarawan luar. Sebut saja Schrieke (1929), Harry J. Benda (1960), Akira Oki (1985), Akira Nagazumi (1980), dan Joel S.Khan.

Abdullah Kamil dibesarkan dalam masa keemasan Islam modernis. Pendidikan terakhirnya adalah Sumatra Thawalib (Hamka, 1974). Ia menikmati masa pendidikan di Thawalib Padang Panjang, dan dididik langsung oleh Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Zainuddin Labay el-Yunussy, dan guru bantu agama Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.

Nama terakhir, yang mengubah wajah Thawalib Padang Panjang. Yang awalnya adalah institusi pendidikan berbasis Islam modernis, kemudian bersentuhan dengan pergerakan Kuminih.

Meskipun telah menjadi bagian dari pergerakan Sarekat Rakyat, Hamka menyebut sahabatnya ini, pentolan Kuminih yang taat beribadah. Kamil ditengarai ikut dalam peristiwa di awal tahun 1927, di kalangan akademisi menyebutnya Pemberontakan Silungkang. PKI pun kalah dalam peristiwa dramatis itu, karena belum kuat massa actie-nya.

Pasca peristiwa Silungkang, ia pun dicari-cari oleh intel Politieke Inlichtingen Dienst  (PID). Sejak kekalahan Kuminih, ia menjadi buruan nomor satu, sejak Januari hingga bulan Mei 1927. Entah bagaimana caranya, ia kerap lolos dari penangkapan intel Belanda. 

Setidaknya ada lima orang yang disorot oleh PID Belanda, terkait dengan peristiwa Silungkang dan keterlibatan mereka dalam Sjech Bond Indonesia (SBI) Persjarikatan Islam Indonesia (SBI/PII).

Pemerintah Belanda sendiri melalui Van der Meulen, sebelumnya tidak pernah mencurigai keberadaan SBI dan PII yang berafiliasi ke Komunis, dan mendukung peristiwa Silungkang. Mereka beranggapan, PII sama halnya dengan Eigen Haji Organitatie–sebuah organisasi perkumpulan haji yang sering berkorespondensi dengan ulama-ulama di Timur Tengah.

Baca juga : Cassandra Lee, Pacaran Serasa Bulan Madu

Bahkan, mereka belum menyadari seluruh kegiatan PII di Mekah merupakan bagian usaha pengurus PII menghindar dari pencidukan militer Belanda. Penangkapan terhadap pimpinan SBI/PII di Mekah –juga dipicu kritik mereka terhadap Ibnu Saud – raja Saudi,  yang menarik pajak angkutan kapal jemaah haji.

Sebab lainnya adalah keberpihakan mereka terhadap rezim Husein yang berseberangan dengan Ibnu Saud. Selama berada di Mekah, pengurus SBI/PII kerap menghasut jemaah yang berasal dari Hindia Belanda, Iran, dan India agar melawan semua kebijakan penguasa Saudi itu.

Seluruh rangkaian kegiatan SBI/PII yang telah meresahkan, segera ditindaklanjuti. Sekurangnya ada delapan orang pengurus, dan lima di antaranya berasal dari Sumatra Barat (Nagazumi, 1980: 120).

Pertama, Sutan Moentjak yang berasal dari Padang Panjang. Menurut catatan Van der Meulen, ia merupakan pimpinan peristiwa 1927, yang bergerak di Padang Panjang dan Solok.

Kedua, Pakih Ripat yang memimpin perlawanan di Solok. Ketiga, Marhoem–bendahara PII berasal dari Padang, dan ditugasi menjual kartu anggota. Keempat, Haji Tangsi gelar Bagindo, dan kelima, adalah Abdullah Kamil–juga merupakan sekretaris PII.

Pada 1 Mei 1927, Kamil menemani neneknya untuk menunaikan haji di Mekah. Dan, entah kenapa dia masih bisa saja lolos dari pemeriksaan PID di Pelabuhan Emmahaven. Sebab, pasca Silungkang, aparat keamanan menjaga ketat pintu keluar, yang bisa dimanfaatkan oleh buron politik, untuk melarikan diri.

Anggota PID baru menyadari buron mereka lolos. Memakai jaringan intelijen internasional, mereka baru mengetahui, dua orang yang tengah dicari lolos, yakni Kamil dan Marhoem.

Vice Consul Kerajaan Belanda, segera melaporkan pada Ibnu Saud untuk menahan keduanya. Dan, benar adanya tepat sebelum wukuf di Arafah, tanggal 9 Juni 1927, Kamil dan Maruhun ditangkap aparat dari Saudi dan dikirim kembali ke Indonesia.

Baca juga : Hani Hadiyanti, Nasabah Disabilitas Binaan PNM Berjuta Inspirasi

Selama tiga bulan, ia menjalani hukuman bui, dan dibebaskan dari tahanan Muaro Padang, pada bulan Oktober 1927 (Sumatra Bode, 12 November 1927). Selepas dari penjara, Kamil memilih mendekat ke Muhammadiyah Padang Panjang. Hamka kaget, ia menyaksikan pentolan Komunis itu berkumpul dengan pengurus persyarikatan.

“Saya sudah berdetak hati.Tentu ini orang dikirim Komunis untuk menginfiltrasi dan mengacaukan persyarikatan! Sebagaimana yang mereka lakukan tempo hari pada Tabligh Muhammadiyah!” tulis Hamka (1974).

Pada satu waktu, Sutan Mansur menjalankan tugasnya. Menantu Haji Rasul itu, hendak  memberi kursus kemuhammadiyahan di Padang Panjang. Abdullah Kamil kembali hadir pada akhir Desember 1927.

Dia mendengar keterangan-keterangan Sutan Mansur dengan seksama. Sejak mendengar keterangan agama yang baru didengar, selama hidupnya. Kamil memandang alam ini, seakan berubah sama sekali.

Rasa pesimis, benci, dendam, kecewa sebagai pengaruh dari ajaran “perjuangan kelas” dan kegagalan naik haji, berubah sama sekali. Dia melihat alam baru, dia melihat dan mulai merasakan kasih dan cinta.

Sampai-sampai Kamil menyampaikan ke Hamka dengaan berlinang air mata,”Saya tetap beriman bahwa sesudah Muhammad SAW, tidak ada lagi nabi. Kalau iman itu tidak ada lagi, mungkin saya katakan Sutan Mansur itu Nabi.”(Hamka, 1984: 199-200).

Sejak bergabung dengan Cabang Padang Panjang, Kamil segera menjadi pion utama. Ia menjadi tokoh dibalik berdirinya Tabligh School (1928), dan mengusulkan Muhammadiyah segera merintis Perguruan Tinggi (1940).  Bahkan, di Kongres ke-19 tahun 1930 di Fort de Kock,  buah pemikirannya menjadi perhatian dan disambut hangat oleh Ketua Majelis Tabligh Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur, K.H Mas Mansur.

Baca juga : Fajar Dan Rian Hancur Lebur

Kisah yang sama, juga dialami oleh tokoh Komunis lainnya–yang kemudian berlabuh ke Muhamamdiyah Padang Panjang. Misalnya, Zain Djambek, putra dari ulama Islam modernis yang dihormati, Syekh Muh Djamil Djambek. Inyik Djambek memang hampir putus asa melihat putranya itu – yang sudah dirasuki oleh Haji Datuk Batuah.

Pasca 1927, ketika Cabang Fort de Kock diresmikan, dan menghadirkan menantu Haji Rasul itu. Zain yaang awalnya acuh-acuh saja dalam acara itu, setelah diminta ayahnya hadir. Niat awalnya hanya ingin mengetahui propaganda dari persyariktan – yang dicap oleh orang Kuminih sebagai Penjilat Ekor Belanda (PEB).

Sutan Mansur yang didaulat menyampaikan pidato, memulainya dengan tenang. Kian lama, pengajian tauhid yang disampaikannya makin dalam, menghujam ke sanubari Zain. 

Zain yang masih berusia 17 tahun terpaku dibawa masuk dalam gelombang pikiran yang disampaikan oleh Sutan Mansur. Anak muda yang halus perasaannya itu, telah mendapatkan orang yang dicari-cari, untuk menyadarkannya kembali.

“Bukan orang semacam ini, harus dimusuhi, karena dia bukan PEB” – demikian Zain menyampaikan kesannya pada seorang pengurus Cabang Padang Panjang, Rasjid Idris Datuk Sinaro Panjang.

Sejak mengikuti kuliah tauhidnya Sutan Mansur, Zain pun memilih Muhammadiyah. Ia menjadi mubaligh, sekaligus pengurus persyarikatan. Baru satu bulan bergabung, ia mendatangi ninik mamak Nagari Kurai V Jorong, untuk mau bergabung dengan Cabang Fort de Kock. 

Pemuda lainnya yang disadarkan oleh Sutan Mansur dan bergabung dengan persyarikatan, antara lain A Malik Siddik, Malik Siddik, Hitam Sutan Mudo (iparnya Hamka/adik Siti Raham), dan Oedin Kurai Taji.

Fikrul Hanif Sufyan
Fikrul Hanif Sufyan
Pemerhati dan pengajar sejarah

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.