Dark/Light Mode

Keren! Prof Nasaruddin Jadi Pembicara Utama Acara HAM Di AS

Senin, 2 Oktober 2023 17:10 WIB
Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Rektor Universitas PTIQ Jakarta, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. (Foto: Ist)
Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Rektor Universitas PTIQ Jakarta, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Rektor Universitas PTIQ Jakarta, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar menjadi pembicara utama (keynote speaker) pada simposium internasional dalam rangka memperingati 75 tahun Universal Declaration of Human Rights di Brigham Young University, Utah, AS.

Acara yang berlangsung dari 1-3 Oktober 2023 ini juga bersamaan dengan memperingati “30th Annual International Law & Religious Symposium, dan memperingati hari lahir J. Reuben Clark Law School, University of BYU, Utah, USA.

Simposium yang mengambil topik Protecting the Right to Freedom of Thought, Concience and Religion ini digelar secara meriah dengan menghadirkan 180 delegasi besar dari berbagai negara. Dalam acara ini hadir sejumlah tokoh pejuang HAM dan sejumlah pimpinan agama-agama dari berbagai negara. 

Dari Indonesia hadir Mantan Menlu RI Prof. Alwi Shihab, Sekjen Muhammadiyah Prof. Abdul Mukti, Mantan Ketua Umum Fatayat Anggia Ermarini dan perwakilan Leimena Institut Matius Ho. Mereka juga menjadi pembicara dalam acara ini.

Baca juga : CIMB Niaga Jadi Pembeli Pertama Unit Karbon Di Bursa Karbon Indonesia

Prof Nasaruddin menyampaikan pidatonya kurang lebih 15 menit dan mendapatkan apresi dari para hadirin. Bahkan salah seorang anggota steering mengusulkan beberapa poin yang disampaikan Prof Nasaruddin ini ditindak lanjuti dalam simposium yang akan datang.

Di antara poin yang mendapatkan apresiasi oleh para peserta ialah perlunya membaca ulang kitab suci masing-masing agama dengan menggunakan metodologi baru, sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara metodologi yang diusulkan ialah perlunya membaca ulang kitab suci dalam era Artificial Intelligent ini dengan perspektif, HAM, kesetaraan gender, budaya lokal dan trend kecenderungan dunia milenial. 

Prof Nasaruddin mengingatkan, perlunya membangkitkan kembali kesadaran baru untuk mengakomodir kembali gagasan-gagasan kitab suci di dalam mengantisipasi munculnya kesadaran baru (new consciousnes) di dalam masyarakat millenial. Menurut Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini perlu dilakukan multi approach di dalam membaca ulang kitab suci, termasuk Al-Qur’an. 

“Jika pendekatan kita kepada Kita Suci selama ini didominasi pendekatan deductive-qualitative maka saat ini perlu diubah menjadi inductive-quantitative,” ujarnya.

Baca juga : Kementerian Kominfo Gencarkan Pemberantasan Judi Online

Al-Qur’an sendiri pertama kali memperkenalkan diri dengan gaya inductive-quantitative, yaitu dimulai dengan kata iqra’ bismi rabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu), bukannya bismi rabbik iqra’ (dengan menyebut nama Tuhanmu, bacalah!). Al-Qur’an juga diturunkan cukup Panjang, selama 23 tahun yang dibagi ke dalam dua fase sosiologis, yaitu Makkiyah dan Madaniyah.

Menurut dia, pendekatan deductive-qualitative, dari atas ke bawah, bisa banyak meredukti kreativitas dan kecerdasan manusia, tetapi pendekatan inductive-quantitative, dari bawah ke atas, bisa memberikan ruang lebih banyak untuk mengembangkan kreativitas  anak manusia. Setiap problem kemanusiaan, tidak selamanya harus diselesaikan dengan langsung merujuk kepada ayat-ayat kitab suci tetapi terkadang kita harus menempuh middle range theory sebelum sampai ke kitab suci.

Penulis disertasi “Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Qur’an” ini menambahkan hendaknya kitab suci tidak selamanya menjadi sumber informasi, tetapi juga sumber konfirmasi. Kecerdasan manusia tidak selamanya harus bersumber dari kitab suci, tetapi kitab suci bisa berfungsi sebagai konfirmasi dari hasil olah nalar anak manusia. Kitab suci sesungguhnya untuk manusia, bukan manusia untuk kitab suci, dalam arti, kitab suci menjadi salah satu petunjuk (directions) bagi manusia untuk mendekati Tuhan.

Bagian lain yang mendapatkan apresiasi ialah Prof Nasaruddin merekomendasikan agar kitab suci dan tokoh-tokoh agama diapresiasi oleh negara dan pemerintah secara simultan. “Jangan hanya mereka diaresiasi untuk menyelesaikan akibat (persoalan) tetapi tidak pernah dilibatkan di dalam perumusan sebab yang menyebabkan akibat itu muncul. Agak ironi, jika mereka diminta menyelesaikan suatu akibat tanpa diberitahu tentang sebab yang menimbulkan akibat itu muncul. Jangan hanya mereka dijadikan pemadam kebakaran atau mendorong mobil mogok,” katanya.

Baca juga : Kakek Selandia Baru Jadi Pembalap Tertua Di Dunia

Dalam menutup pidatonya, dia menyampaikan, rasa syukurnya sebagai warga bangsa Indonesia, bisa melewati dan menyelesaikan fase-fase kritisnya dengan baik melalui falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.