Dark/Light Mode

Ramadhan Di AS

WNI Bukber, Hingga Saling Berkunjung

Senin, 11 Mei 2020 05:06 WIB
(Dari kiri searah jarum jam) 
Deni Burhasan, Mauliya Risalaturrohmah, Emily Abraham, Heidi Utami menceritakan pengalaman saat Ramadhan.
(Dari kiri searah jarum jam) Deni Burhasan, Mauliya Risalaturrohmah, Emily Abraham, Heidi Utami menceritakan pengalaman saat Ramadhan.

RM.id  Rakyat Merdeka - Bagi umat Muslim Indonesia, bulan Ramadan adalah saat yang paling ditunggu. Bulan ini biasanya disambut dengan sukacita. Apalagi, hampir seluruh warga ikut menjalankan ibadah puasa.

Tapi, suasana yang berbeda dirasakan warga Indonesia yang berpuasa di Amerika Serikat (AS). Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Suasana berbeda itu dirasakan Heidi Utami. Warga Indonesia yang bekerja di New York. Heidi bercerita, selama dua kali menjalani puasa di AS, baru tahun ini dia mendengar kumandang azan. Untuk mengingatkan jadwal berbuka puasa dan sahur bagi umat Muslim.

“Jadi, dari Februari tahun lalu saya di sini, baru Ramadan ini mendengar azan. Biasa saya pakai aplikasi di handphone untuk mengingatkan,” ujar Heidi, dalam diskusi virtual yang digelar Pusat Kebudayaan AS di Jakarta @america, Rabu (6/5).

Tahun lalu, sebelum ada pandemi Covid-19, dia biasa menggelar iftar atau buka puasa bersama (bukber). Kegiatan itu biasanya dilakukan di sejumlah masjid. Bersama dengan berbagai komunitas Muslim dari berbagai negara yang ada di wilayah New York.

Baca juga : Koordinasi, Bukan Saling Serang

Biasanya, jelang berbuka, warga Muslim setempat juga membagikan takjil kepada mereka yang datang ke tempat bukber. Namun tahun ini, hal tersebut tidak bisa dilakukan.

Tahun ini, Heidi bilang, menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari sahur hingga berbuka. “Padahal, tahun lalu sampai Lebaran juga seru. Setelah shalat Id di kota Queens, ada open house di rumah warga Indonesia. Terus teman-teman saya yang non Muslim juga ikut merayakan hari kemenangan,” ujarnya.

Suasanayang berbeda juga dirasakan Deni Burhasan. Mahasiswa asal Lampung yang tengah belajar di Universitas Southern California, Los Angeles. Sama seperti Heidi, tahun ini adalah yang kedua kalinya dia jalani di AS. Jika tahun lalu Deni sering menggelar iftar bersama teman-teman atau komunitas Muslim, tahun ini tidak.

Karena tidak bisa bukber, Deni lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ia membaca Alquran dan juga menonton kajian-kajian melalui YouTube. Kalau pun keluar, ia harus menjalankan semua protokol kesehatan. Mulai dari memakai masker, menjaga jarak, hingga mencuci tangan dan pakaian. 

Kesulitan yang dialami sebenarnya tak sampai di situ. Ia kesulitan menemukan makanan halal. “Untuk beli bahannya, harus ke tempat khusus. Dan itu juga lumayan jauh tempatnya. Sekitar 45 menit berkendara. Tapi, kadang ada juga teman yang bawain. Tapi, saya juga harus pastikan itu halal,” tutur Deni.

Baca juga : Selama Ramadan, BNI Berlakukan Jam Operasional Baru

Soal makanan, Mauliya Risalaturrohmah sedikit lebih beruntung. Meski kondisinya tak semudah seperti di Indonesia. Mauliya yang selama di AS tinggal di rumah seorang warga setempat, menyebut sang pemilik rumah adalah vegetarian. Jadi, dia sekaligus belajar menjadi vegetarian. Jika merasa bosan, kadang dia pergi ke restoran Indonesia yang ada di kota tempat tingalnya, San Diego, Negara Bagian California.

Selama berpuasa di AS, Mauliya mengaku merasakan tiga hal. Kebaikan, penghargaan, dan toleransi. Contoh kebaikan yang dirasakannya, selama Ramadhan 2019, dia selalu diantar pemilik rumahnya ke masjid terbesar di San Diego untuk shalat tarawih. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Belum lagi, sang pemilik rumah bisa dianggap sudah sepuh. “Umurnya 73 tahun. Dan itu menyentuh saya,” ujar Mauliya. Soal toleransi dan saling menghormati, Mauliya yang kini tinggal di Yogyakarta menyebut, ia tinggal satu rumah dengan orang-orang yang berbeda. Sang pemilik rumah beragama Katholik. Sedangkan satu rekannya yang berasal dari Rusia, tidak percaya Tuhan.

“Tapi, pemilik rumah biasanya selalu menunggu agar bisa makan malam bersama semuanya,” terangnya.

Selain tiga warga Indonesia di Amerika, Asisten Kebudayaan Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta Emily Abraham turut ikut dalam perbincangan virtual itu. Meski tak ikut berpuasa, dia juga turut bercerita pengalamannya selama Ramadhan tiga tahun terakhir bertugas di Indonesia.

Baca juga : MPR dan DPD Sepakat Saling Menguatkan

Menurut Emily, demikian dia disapa, Ramadhan adalah bulan yang sibuk bagi dia dan para stafnya. Dia dan rekan-rekannya selalu bersiap diri untuk bersilaturahmi dengan masyarakat Indonesia. Katanya, Ramadhan tahun lalu, dia berkunjung ke sejumlah kota. Mulai dari Tasikmalaya, Ciamis dan Garut di Provinsi Jawa Barat. Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Hingga Purwokerto.

“Tiga kota pertama yang disebut, kami lakukan dalam satu hari,” ujarnya. Dalam perjalanan itu, dia mempromosikan program-program yang ditawarkan AS untuk para pelajar. Mulai dari beasiswa hingga pertukaran.

“Makanya, berdiskusi soal Ramadhan bersama warga Indonesia yang ada di AS adalah hal menarik. Tak lupa saya ucapkan ‘selamat berpuasa’,” ujarnya.[PYB]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.