Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kisah Perempuan Di Penjara Satu Toilet Untuk 100 Orang

Selasa, 23 Maret 2021 23:32 WIB
Kondisi penjara Antanimora di Antananarivo, Madagaskar. (Foto Amnesty International)
Kondisi penjara Antanimora di Antananarivo, Madagaskar. (Foto Amnesty International)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mereka yang dipenjara, khususnya tahanan perempuan, terlupakan saat pandemi Covid-19. Laporan Amnesty International menyebutkan hampir semua negara tak punya strategi untuk mencegah penularan Covid-19 di penjara. Rencana nasional juga jarang mencakup penanganan Covid-19 di penjara.

Menurut Amnesty, diperkirakan terdapat 11 juta tahanan di dunia, 741.000 di antara mereka adalah perempuan. Namun banyak di antara tahanan ini bukan merupakan penjahat. Mereka antara lain adalah orang-orang yang menunggu pengadilan, pegiat politik dan wartawan.

Di antara wartawan yang dipenjara selama pandemi adalah Rahelisoa Arphine . Warga Madagaskar ini dikenal sebagai direktur berita surat kabar yang dekat dengan oposisi. Ia dipenjara setelah mengkritik rencana penanganan pandemi oleh pemerintah. Ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara Antanimora, Antananarivo, Ibu Kota Madagaskar selama 30 hari. Ia kemudian dibebaskan pada 4 Mei 2020.

Arphine Rahelisoa

Antanimora dibangun dengan kapasitas 800 tahanan, namun pada akhir 2019, penjara ini harus menampung 4.000 orang. Akibatnya, kata Rahelisoa, penghuni dipaksa berdesak-desakan.

"Ada 18 perempuan di ruang berukuran empat kali empat meter. Di ruang itu tak ada tempat tidur, dan kami semua harus tidur di lantai," Arphine kepada British Broadcasting Corporation (BBC), kemarin. 

Baca juga : Hati-hati, Penipuan Di Telegram Catut Nama Bareksa

Ia dipenjara ketika wabah sedang ganas-ganasnya. Ruang isolasi dengan cepat penuh dengan penghuni. "Tak bisa dibayangkan ketakutan saya," katanya. Ia sangat lega ketika hasil tesnya negatif. Namun ketakutan dan kekhawatiran akan terinfeksi Covid-19 di kompleks penjara tak bisa ia tepis.

Ketika seorang tahanan jatuh sakit, Arphine mendapati tak ada obat maupun ambulans yang bisa dipakai untuk membawanya ke rumah sakit. "Yang membuat saya sedih adalah ketika seorang penghuni penjara meninggal karena hanya urusan dokumen yang membuatnya tak bisa diantar ke rumah sakit," katanya.

Safoona Zargar

Fasilitas kebersihan juga sangat minim. Ratusan tahanan perempuan harus antre karena hanya ada satu toilet dan satu kamar mandi untuk mereka. "Tak ada yang peduli pandemi Covid-19, tak ada masker, tak cairan pembersih," katanya.

Namun ia tak putus semangat dalam menghadapi situasi ini. Ia dan tahanan perempuan lain berusaha untuk tetap menjaga kebersihan diri. Namun ia menekankan, aturan demi memutus penularan Covid-19 justru malah mempersulit tahanan bertemu pengacara atau anggota keluarga.

Kisah sedih lainnya juga dialami Safoona Zargar (28), aktivisdari Kishtwar, Jammu dan Kashmir. Ia terkejut saat melihat sel di penjara tempat ia harus mendekam. Saat itu, April 2020, ia ditahan polisi karena ikut berdemonstrasi. Ia bebas dengan jaminan pada Juni 2020. "Selnya sangat bau. Alasnya tikar bekas. Saya tidur di tikar yang sudah dipakai banyak orang," kisahnya.

Baca juga : Mengenang Pertempuran Karameh 1968 Antara Palestina Lawan Israel

Yang lebih mengenaskan lagi, Safoora ditangkap dan dimasukkan ke penjara saat hamil tiga bulan. Dia menjalani kehidupan di penjara Tihar, Delhi, di India, kompleks penjara terbesar di Asia Selatan. Kepada BBC, Zargar mengatakan, protokol kesehatan sulit diterapkan di kompleks penjara, padahal protokol ini penting untuk menekan penyebaran virus. 

Ia menuturkan hanya ada satu botol pembersih dan itu pun isinya sudah dicampur air. Satu botol sanitiser untuk seluruh bangsal. Ada botol-botol pembersih lain, namun botol-botol ini tak pernah diisi ulang. Ia menggunakan cairan pembersih yang ia bawa sendiri. "Petugas memberi kami, para tahanan, setengah batang sabun dan masker darurat," ungkap Zargar.

Kondisi penjara itu sama halnya dengan penjara di banyak negara lain sangat mengenaskan dan penuh sesak. Menurut Direktur Eksekutif Penal Reform International Olivia Rope, perempuan di penjara menghadapi risiko lebih tinggi terkena Covid-19 di 22 negara dengan tingkat hunian penjara di atas 200%.

"Bagi tahanan perempuan, persoalan ini ditambah dengan minimnya ketersediaan pembalut wanita dan kebutuhan penting lain," kata Rope. Ia mengatakan banyak tahanan perempuan yang tergantung pada anggota keluarga untuk mendapatkan perlengkapan tersebut. Aturan Ketika pandemi tidak membolehkan kunjungan keluarga, satu-satunya sumber untuk mendapatkan perlengkapan ini menjadi tertutup.Dampak lain adalah, sulitnya tahanan perempuan bertemu dengan anak-anak mereka.

Meski demikian, pemerintah tak banyak memberi perhatian. Dari 71 negara yang telah mengeluarkan kebijakan vaksinasi, tak banyak yang memasukkan vaksinasi bagi penghuni penjara. "Temuan kami menunjukkan selama pandemi Covid-19 para tahanan di seluruh dunia sepertinya dilupakan," ujar Netsanet Belay, penulis laporan Amnesty, kepada BBC.

Baca juga : Kerbau Dicuri, Warga India Tuntut Tes DNA

"Perlu ada langkah-langkah khusus untuk memenuhi kebutuhan tahanan perempuan di penjara yang hamil, menyusui atau yang sedang mengalami menstruasi. Tahanan-tahanan perempuan harus masuk dalam kelompok prioritas, termasuk memasukkan mereka dalam kelompok prioritas yang mendapatkan vaksin," kata Belay. 

Selain itu, dampak pandemi membuat keadilan tertunda karena proses hukum berjalan jauh lebih lama.Tahanan tak boleh menerima pengunjung, yang akibatnya bantuan hukum dari pengacara menjadi sulit didapat. Dalam kasus Safoora, ia harus menunggu 20 hari untuk bertemu dengan pengacara  pertama kalinya. Untuk bertemu dengan pihak keluarga, ia harus menunggu 15 hari.

Apa yang dialami Zargar dan Arphine menunjukkan belum banyak penjara yang menerapkan kebijakan ramah perempuan. "Ini berdampak psikologis," kata Zargar.

Ketika ia dimasukkan ke sel sendirian, tanpa ada interaksi dengan orang lain, kondisi kesehatan mentalnya memburuk. "Saya merasa kosong, larut dalam kesepian dan keputusasaan, saya merasa manusia tak sepantasnya menerima perlakuan seperti ini," katanya. [MEL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.