Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Dari Islamofobia Hingga Puasa

Ini Lho, Tantangan Jurnalis Perempuan Muslim Di AS

Kamis, 22 April 2021 05:30 WIB
Jurnalis perempuan Muslim di Amerika Serikat. (Foto : Istimewa).
Jurnalis perempuan Muslim di Amerika Serikat. (Foto : Istimewa).

RM.id  Rakyat Merdeka - Menjalani profesi sebagai jurnalis perempuan Muslim di Amerika Serikat (AS), memiliki tantangan tersendiri. Tantangan itu semakin besar karena Islamofobia yang berkembang di Negeri Paman Sam. Terlebih, sejak peristiwa 11 September 2001.

Hal itu dirasakan Sabrina Siddiqui. Menjadi seorang wartawan, sudah jadi cita-citanya sejak remaja. Tepatnya, ketika ia berusia 13 tahun. Kala itu, dia merasa media adalah salah satu tempat terbaiknya untuk bisa bercerita.

Namun, ketika dia memulainya, segalanya tak berjalan begitu mulus. Dia mendapati, tak ada yang sama dengannya. Mulai dari penampilan fisik, hingga namanya yang asing bagi masyarakat AS pada umumnya. Dia merasa benar-benar seperti minoritas. Itu terus Siddiqui rasakan hingga dia terus tumbuh sebagai seorang wartawan senior.

Baca juga : Sri Mul, Khofifah, Dan Risma, Perempuan Tervokal Di Media Massa

Saat ini, sudah sekitar 20 tahun sejak Siddiqui pertama kali memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Dan 10 tahun terakhir, bisa dibilang dia cukup beruntung menyaksikan suksesi kepemimpinan di AS dari dekat. Di media tempatnya bekerja, dia ditugaskan meliput di Gedung Putih, Washington DC.

“Saya merasakan meliput tiga presiden berbeda. Barack Obama, Donald Trump, dan Joe Biden,” ucap Siddiqui, dalam webinar bertajuk “Ramadan and Female Muslim Journalists in U.S Newsroom”, yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan AS di Jakarta @america, Selasa malam (20//4).

Selain di Gedung Putih, dia juga meliput segala kegiatan yang berhubungan dengan Parlemen AS. Sampai saat ini, Siddiqui masih menjadi salah satu dari sedikit Muslim menjadi wartawan yang menggarap isu politik. Tapi baginya, itu bukanlah sebuah kebanggaan. Apalagi kehormatan. 

Baca juga : Usai Dilantik jadi Anggota MPR, Rizal Tancap Gas Perjuangkan Aspirasi Rakyat

Baginya, itu malah seperti sebuah kekurangan. Khususnya bagi para wartawan Muslim yang seharusnya bisa lebih banyak lagi menulis berita mengenai politik di AS.

Karena menurutnya, politik memiliki dampak yang cukup luas untuk persepsi publik. Bagaimana akhirnya orang memilih atau memutuskan. Dan bagaimana melihat perkembangan masyarakat di suatu negara. “Kekurangan itu menurut saya bukan suatu hal yang baru. Itu adalah tantangan yang harus kami hadapi sebagai wartawan di AS,” ujarnya.

Apalagi setelah peristiwa 11 September 2001. Ketika Islamofobia di AS berkembang begitu luas. Kebijakan-kebijakan terhadap negara-negara atau umat Muslim, selalu diangkat dalam setiap pemilihan Presiden AS.

Baca juga : Pertamina Pastikan Kilang Balongan Kembali Beroperasi

Sebagai wartawan Muslim, bisa dikatakan dirinya merasakan langsung dampak dari Islamofobia yang berkembang di AS. “Itulah mengapa perlu lebih banyak lagi umat Muslim yang berprofesi sebagai jurnalis di AS,” harap wartawan Wall Street Journal dan Cable News Network CNN itu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.