Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Tantangan Global Umat Masa Depan (16)

Menguatnya Imigran Muslim Di Negara Maju

Selasa, 14 Juni 2022 06:42 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Umat Islam rupanya tak mungkin lagi terbendung untuk melakukan migrasi ke negara-negara non-muslim, terutama di negara-negara barat. Populasi pertumbuhan migrasi mus­lim semakin hari semakin bertambah dan ternyata menim­bulkan perdebatan di dalam negara-negara tujuan. Di antara mereka ada yang ingin mencari kerja, ada yang meminta suaka politik, dan ada yang belajar, dan kawin-mawin den­gan warga setempat.

Sehubungan dengan ini, menarik untuk menyimak istilah stateless Oliver Roy bagi imigran muslim. Roy dalam bu­kunya: “Globalised Islam, The Search for a New Ummah”, juga menggunakan istilah lain, deterritorialization of muslim immigrations bagi imigram muslim yang masih memiliki loyalitas ganda.

Baca juga : Memahami Hidup Dan Matinya Sebuah Rezim Dalam Al-Qur`an (1)

Seolah-olah Roy menganggap imigran muslim di negara-negara barat sedang dan akan menjadi beban negara tersebut, terutama jika Negara-negara barat sedang berkonflik dengan negara-negara muslim. Roy menggeneralisisr, ke manapun komunitas muslim itu berada pasti tidak mungkin memu­tuskan tali primordial dengan negeri asalnya, karena tokoh spiritualnya berada di negeri asalnya.

Akan tetapi, beberapa pakar berpendapat lain, termasuk Aminah Beverly McCloud di dalam buku penting yang diedit oleh YY Haddad, JI Smith, dan John L. Esposito, Religion and Immigration. Menurut Aminah, imigran muslim harus dibedakan antara imigran baru dan anak keturunan imigran muslim berabad-abad lalu. Juga harus dibedakan antara imigran muslim dan muallaf muslim (converted). Islam masuk di AS semenjak abad ke-12 dari Afrika sebagai budak yang mengikuti tuannya ke tanah baru AS. Mereka sudah beranak keturunan sekian lapis di AS, sehingga mereka tidak lagi mengenal negeri asalnya. Kalaupun mereka mengenal negeri asalnya, sebagian besar mereka tidak menggunakan tradisi local mereka karena sudah menjadi sepenuhnya Amerika. Bagaimana mungkin mereka bisa disebut sebagai stateless?

Baca juga : Mencegah Lahirnya Multi Radikalisme

Hal yang sama juga ditepis oleh Imam Feisal Abdul Rauf yang sekarang diminta memimpin pembangunan Mesjid Ground Zero, Manhattam, NY. Ia menulis sebuah buku yang terkesan “provokatif”: What’s Right With Islam Is What’s Right With America. Imam Faisal menegaskan bahwa dalam buku itu bahwa samasekali tidak ada masalah komunitas Islam di AS. Islam agama damai, menentang segala macam kekerasan, dan menghargai perbedaan. Ini artinya sama dengan prinsip di dalam piagam pendirian negara AS.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.