Dark/Light Mode
Menghemat Politik Identitas (40)
Menyikapi Komunitas LGBT (3): Pandangan Teologis
RM.id Rakyat Merdeka - Dalam artikel terdahulu dibahas bahwa kecenderungan orientasi seksual komunitas LGBT ada yang lebih ditentukan oleh faktor kodrati, ada non-kodrati, dan ada yang bertumpang tindih keduanya, artinya potensi kodrati ditambah dengan faktor eksternal yang diperoleh melalui pergaulan bebas.
Baca juga : Menyikapi Komunitas LGBT (3): Antara Kodrat Dan Pilihan
Faktor kodrati sudah dibahas di dalam artikel terdahulu. Sedangkan faktor non-kodrati kecenderungan penyimpangan orientasi seksual bisa terjadi antara lain karena terjadinya krisis pola asuh di dalam lingkungan keluarga, misalnya kurangnya kasih sayang dan perhatian sehingga ia mendapatkan kasih sayang melalui cara-cara yang tidak wajar, mungkin pernah menjadi korban kekerasan seksual dari sesame jenis (liwath), sering dibuli atau diejek, sering nonton film-film pornografi, dan banyak bergaul dengan komunitas LGBT.
Baca juga : Menyikapi Komunitas LGBT (2): Antara Kodrat Dan Pilihan
Jika secara kodrati terdapat potensi mengalami kecenderungan disorientasi seksual lalu dipicu dengan faktor eksternal tadi maka yang bersangkutan bisa menjalani kehidupan LGBT secara ekslusif, bahkan bisa nekad mendemostrasikan kecenderungannya tanpa peduli opini public di sekitarnya tentang stigma negative LGBT. Lama kelamaan, komunitas ini bisa bertambah luas dan bertambah progresif, berusaha untuk menuntut hak-hak kemanusiaan dan hak-hak kemasyarakatannya, sebagaimana yang terjadi di dalam dunia barat. Akhirnya sejumlah negara melegalkan hubungan perkawinan sejenis itu di dalam bentuk undang-undang. Akibatnya lebih lanjut, kehidupan LGBT semakin luas dan menjadi sebuah komunitas politik, yang menuntut hak-hak politik tersendiri.
Baca juga : Menyikapi Komunitas LGBT (1)
Jika segalanya menjadi terlanjur, maka akumulasi secara psikologis masyarakat menganggap hubungan sejenis itu bagian dari HAM yang yang harus dilindungi, nahkan dibela dan difasilitasi. Jika sudah menjadi kenyataan seperti ini maka problem teologi akan muncul. Apakah harus kita memberi pengakuan terhadap sebuah fenomena yang secara tegas bertentangan dengan teks suci setiap agama, khususnya agama-agama yang tergabung di dalam Abrahamic Religions, yakni Yahudi, Nashrani, dan Islam? Mestikah kebatilan itu dilegitimasi atas nama HAM? Atau, mestikah HAM itu ditegakkan walaupun melabrak pandangan suci setiap agama? Bukankah agama itu diturunkan untuk memanusiakan manusia, bukannya mendegradasi martabat kemanusiaan itu sendiri? Mungkinkan ada solusi lain tanpa harus melegalkan sesuatu yang nyata-nyata dianggap bertentangan dengan ajaran agama?
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.