Dewan Pers

Dark/Light Mode

Menghemat Politik Identitas (31)

Islamo Phoby: Cecak Atau Buaya?

Kamis, 15 September 2022 06:30 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Menganggap cecak seekor buaya tentu sangat berba­haya. Sama bahayanya menganggap buaya seekor cecak.

Supaya terhindar dari bahaya dan risiko maka kita harus melakukan upaya pengenalan lebih cermat, agar kita mem­perlakukan cecak sebagai cecak dan memperlakukan buaya sebagai buaya. Bila salah mengidentifikasi dan mendiag­nosa, maka kita bisa menggergaji cecak atau mencambuk buaya dengan lidi.

Berita Terkait : Mengelola Bahasa Agama

Cara pandang ini bisa digunakan untuk melihat isu islamo phoby (ketakutan berlebihan terhadap perkembangan Islam) yang akhir-akhir ini sering mencuat di permukaan. Apakah fenomena islamo phoby itu hanya sekadar cecak atau me­mang betul-betul buaya, perlu dikaji lebih mendalam.

Kita tidak perlu mengusir cecak dengan mengerahkan predator harimau. Jangan sampai pendekatan kita keliru, justru membangunkan buaya-buaya tidur. Jika fenomena islam phoby hanya sekadar cecak, maka tidak bijaksana jika kita memperlakukannya sebagai buaya. Apalagi jika kita mendeligitimasi sebuah institusi yang institusi sudah mapan di masyarakat.

Berita Terkait : Politik Shalat Jamaah (2)

Setiap langkah yang dilakukan, baik instansi pemerintah maupun masyarakat, dicurigai bahkan diprovokasi sebagai langka islamo phoby yang provokatif, tentu tidak bijaksana.

Sebaliknya, jika islamo phobi betul-betul memiliki fakta, dan ini tidak mustahil bisa terjadi, maka terapinya juga harus tepat, jangan sampai muncul generalisasi secara massif, seolah-olah institusi dan pranata keagamaan dipersepsikan setiap gerakannya sebagai gerakan yang mengkhawatirkan keutuhan bangsa, lalu lahir sebuah kebijakan yang over defensif. Justru cara-cara seperti ini yang akan memban­gunkan macan tidur.

Berita Terkait : Politik Shalat Jamaah (1)

Institusi keagamaan seperti ormas-ormas mainstream Islam, pondok-pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, dan se­jumlah tokoh panutan masyarakat dijadikan sasaran tembak, apakah dalam bentuk kriminalisasi atau pencitraan negatif lain­nya, itu bisa menambah jarak antara masyarakat (umat) dengan pemerintah. Padahal justru mereka yang menjadi pilar-pilar utama untuk mempertahankan bangsa dan tanah air.

Mengkriminalisasi ulama, ustaz, pondok pesantren, dan lambang-lambang atau simbol-simbol agama bukan saja menimbulkan kontroversi, tetapi menjadi langkah kontra produktif dan bumerang untuk masa depan bangsa.
 Selanjutnya