Dark/Light Mode
Menggapai Kesejukan Beragama (16)
Menghitung Kelas Menengah Santri
RM.id Rakyat Merdeka - Undang-Undang Pesantren baru saja ditetapkan. Ini artinya sebuah harapan positif bagi dunia pesantren.
Jika selama ini komunitas pesantren secara umum dipandang sebelah mata, karena komunitas ini lebih banyak memilih untuk memberikan ”pengertian” kepada kelompok elit, khususnya kepada para penguasa.
Maka dengan diundangkannya peraturan tentang dunia kepesantrenan tentu akan mempunyai dampak, bukan hanya dampak positif tetapi juga dampak negatif.
Dampak positifnya, keberadaan pondok pesantren mendapatkan pengakuan dan legitimasi di masyarakat, termasuk di lingkungan pemerintahan.
Baca juga : Mereaktualisasi Tradisi Keagamaan
Sedangkan dampak negatifnya, jika ternyata di kemudian hari pondok pesantren mengalami intervensi pemerintah yang menghilangkan fungsi kritisnya terhadap pemerintah dan masyarakat.
Bisa dibayangkan, jika selama ini kalangan Kiyai tidak pernah membayangkan santrinya bisa menerobos kelas menengah dalam berbagai sektor, tiba-tiba dibukakan pintu untuk mengakses berbagai kewenangan sesuai dengan garis keilmuan dan keterampilan yang dimiliki.
Mungkin ketika masih sebagai santri sulit sekali mengakses dunia lain selain dunia kepesantrenan.
Mungkin strategi politik pemerintah kolonial yang “mengandangkan” kiyai di dalam lingkungan Pondok Pesantren yang kemudian strategi ini diadopsi oleh rezim pemerintahan nasional, baik Orde Lama maupun Orde Baru.
Baca juga : Menjadikan Agama Sebagai Faktor Sentripetal (1)
Clifford Geertz menyebut komunitas pesantren sebagai sub kultur tersendiri di dalam masyarakat di samping Abangan dan Priyayi.
Komunitas pesantren seolah tidak perlu berekspansi ke dunia publik dengan pengecualian kepada sejumlah kiyai diberi kesempatan berpolitik praktis hanya sebagai kekuatan pengecoh di dunia Barat, khususnya Eropa, yang di penghujung abad ke-19 sudah mulai demam demokrasi dan HAM.
Dengan tampilnya segelintir kiyai di panggung politik maka pemerintah colonial Belanda bisa menolak tudingan masyarakat Eropa bahwa Belanda menjalankan politik rasialis.
Komunitas pesantren kini sudah mulai merambah kelas menegah Indonesia dalam berbagai segmen.
Baca juga : Pengindonesiaan Umat Beragama (2)
Di antara para santri sudah banyak menyandang bintang (jenderal) di berbagai kesatuan TNI dan Polri, sudah banyak menduduki Rektor bahkan Menteri, sudah banyak sekali yang menjadi anggota legislatif, diplomat karier, menembus peluang karier internasional di manca negara.
Yang pasti kalau dahulu komunitas santri kebanyakan hanya mustahiq (penerima zakat) dan paling banter sebagai nadzir (penyelenggara dan pengurus tanah dan harta waqaf) atau mauquf ‘alaih (pengguna hasil keuntungan waqaf produktif yang diterima dari nadzir), kini sudah banyak sebagai muzakki (pembayar zakat) dan sebagai waqif (pemberi waqaf).
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.