Dark/Light Mode

Penculikan Nelayan Indonesia, Itikad Malaysia Diragukan

Rabu, 22 Januari 2020 06:20 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - Hari Minggu, 19 Januari yang baru lalu delapan warga negara indonesia ditangkap kelompok Abu Sayyaf (Filipina) di perairan Sabah, Malaysia. Padahal baru sehari sebelumnya, militer Filipina membebaskan seorang WNI yang bersama dua WNI lainnya disergap dan diculik oleh kelompok yang sama juga di perairan sama, perairan Malaysia. Jadi, dari 3 warga negara kita yang diculik kelompok Abu Sayyaf sejak 23 September 2019, hanya satu yang berhasil dibebaskan.

Kejadian penculikan dan penyanderaan dengan motif tebusan uang (kidnap for ranson) di perairan Sabah dan Sulu (Filipina) terjadi sejak 2016. Pada awalnya, mayoritas korban penculikan adalah ABK tug boat pengangkut batubara yang melintas di kedua perairan tersebut. Belakangan sasaran para pelaku beralih ke ABK kapal penangkap ikan, TKI/nelayan kita yang terutama tinggal di Sabah, setelah pemerintah kita memberikan peringatan keras kepada perusahaan pemilik kapal pengangkut batubara untuk tidak melewati perairan selatan Filipina. Pemerintah Indonesia bahkan mengancam tidak akan membantu dalam bentuk apa pun jika mereka masih bandel. Pertimbangannya, perairan sela tan Filipina memang tidak aman, para gerilya abu Sayyaf terus beroperasi di sana untuk mencari “logistik” bagi kegiatankegiatan ilegal mereka.

Baca juga : Hati Nurani Tidak Bisa Dibohongi

Setelah kehilangan “mangsa kakap”, kelompok abu Sayyaf mengalihkan sasarannya ke TKI/nelayan Indonesia, khususnya yang bermukim di Sabah. Mayoritas nelayan yang berada di pesisir Sabah adalah WNI dengan jumlah sekitar 1.500. Sebagian dari mereka bekerja untuk kapal-kapal penangkap ikan milik “tauke” kelas menengah. Pendapatan yang cukup tinggi dengan sistem bagi hasil yang ditawarkan para pemilik kapal di sana menjadi daya tarik yang menggiurkan bagi TKI di sektor kelautan.

Awalnya, tahun 2016, penculikan WNi oleh kelompok abu Sayyaf terjadi di perairan Filipina. Maret 2016, misalnya, 10 ABK kita diculik di perairan Languyan, Filipina Selatan. Satu bulan kemudian, penculikan terjadi Tawi-Tawi, juga Filipina Selatan, korbannya 4 ABK kita. Juni 2016 terjadi di perairan Jolo, 7 ABK. Kasus-kasus pen culikan dan penyanderaan WNI nelayan boleh dikatakan akibat kegagalan pemerintah Filipina dalam menjaga perairan mereka di selatan Filipina (Sulu), disamping keterlibatan beberapa unsur, baik komunitas masyarakat sipil di sekitar wilayah maupun oknum-oknum aparat keamanan lokal.

Baca juga : Luhut, Bertindaklah, Jangan Omong Saja!

Untuk mengatasi masalah ini, militer Filipina mengajak TNi untuk samasama memberantas aksiaksi perompakan abu Sayyaf. Kerjasama ini bisa dibilang berhasil, bisa juga kurang efektif. Kelompok penculik selalu menekan/memeras pemerintah RI untuk membayar ransom. Secara verbal, pemerintah kita selalu mengatakan tidak mau tunduk pada aksi pemerasan kelompok penculik, termasuk menolak mengeluarkan satu rupiah pun untuk membebaskan warga kita yang disandera. Pemerintah kita menuntut pemilik kapal untuk “membereskan” sendiri permasalahan penculikan ini. Toh, pemerintah kita tidak bisa “hands off” sepenuhnya. Bagaimana pun korban penculikan/penyanderaan adalah warga negara indonesia, dan pemerintah RI punya tanggung jawab untuk menyelamatkan warganya yang terancam di mana pun ia berada.

Yang unik, sekaligus mengherankan, sejak 9 Juli 2016 sampai 17 Januari 2020, “medan penculikan” bergeser dari perairan Filipina ke perairan Malaysia (Sabah). Semua kejadian penculikan terhadap nelayan Indonesia sejak Juli 2016 terjadi di perairan Malaysia, seperti di Kinabatang, Kudarat, Lahat Datu, dan Semporna semua di peairan Sabah yang bebatasan dengan perairan Filipina.

Baca juga : Jakarta Banjir, Apa Kerja Anies?

Jadi, fenomena penculikan ini unik sekaligus mencurigakan. Pelakunya adalah warga negara Filipina (kelompok Abu Sayyaf), korbannya orang indonesia, sedang kejadiannya di perairan Malaysia. Koq bisa? Pertanyaan krusialnya: Kenapa para penculik bisa “leluasa” masuk ke perairan Malaysia untuk menjalankan aksi penculikan/penyanderaan nya? Memang ada kedekatan geografis antara Filipina dan keberadaan komunitas Tausung dan Suluk di Sabah. Di sisi lain, pihak indonesia, khusus nya TNI Angkatan Laut, tidak bisa berbuat apa-apa. Timbul kecurigaan: Mengapa Angkatan Laut atau Otoritas Malaysia yang lain melakukan pembiaran orang-orang Abu Sayyaf masuk ke perairan Malaysia untuk menculik nelayan-nelayan Indonesia dengan motif “cari dulit”.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.