Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Ramai-ramai Gorok Parpol Cilik

Kamis, 11 Juni 2020 08:59 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - Undang-Undang Pemilihan Umum selalu direvisi pasca pemilu. Keinginan revisi, tampaknya, berdasarkan pengalaman politik plus minus [gonjang ganjing] pemilu yang baru berlangsung. Tidak ada negara yang punya tradisi ketatanegaraan seperti ini. Di masa pandemi Covid-19, DPR bahkan menggenjot pembahasan revisi UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ada 2 (dua) topik penting yang menjadi “pembahasan panas”. Pertama, tentang ambang batas parlemen, kedua menyangkut ambang batas Presiden.

Mengenai ambang batas parlemen, yang diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 adalah 4%. Hal ini berarti parpol yang gagal meraih suara 4% dalam Pemilu kehilangan hak untuk mendudukkan wakilnya di DPR RI. Mayoritas parpol kini menghendaki kenaikan ambang batas parlemen.

Apa sesungguhnya tujuan menaikkan ambang batas parlemen? Teoritis supaya tidak terlalu banyak partai yang duduk di parlemen. Makin banyak partai yang duduk di parlemen, permasalahan yang dibahas di parlemen makin “ruwet” dan bertele-tele. Untuk efisiensi dan efektivitas perpolitikan, kurangi saja parpol yang ada di parlemen. Masalah keuangan juga jadi pertimbangan. Makin banyak parpol yang ikut Pemilu atau yang duduk di palemen, makin besar anggaran yang harus dikeluarkan Negara dan para kontestan.

Communication is always Intentional, bunyi salah satu prinsip komunikasi. Tujuan itu bisa bersifat manifest, bisa juga hidden, tujuan tersembunyi. Hidden intention menaikkan ambang batas parlemen bisa juga untuk “menggembosi” atau membunuh partai-partai kecil, sekaligus menggelembungkan kekuasaan parpol-parpol besar. Hal ini juga tercermin dari upaya menaikkan ambang batas Presiden yang menurut UU No 7 tahun 2017 20%. Jika ambang batas Presiden dinaikkan, makin sedikit calon presiden yang bisa lolos; sekaligus makin besar peluang parpol besar untuk mendudukkan pemimpinnya jadi Presiden, apalagi melalui koalisi 2-3 parpol.

Pemilu 2019 menghasilkan konstalasi kekuatan di DPR sebagai berikut:

1. PDIP 19,33% (128 kursi)

2. Golkar 12,31% (85)

3. Gerindra 12,57% (78)

Baca juga : New Normal Versus New Covid

4. Nasdem 9,05% (59)

5. PKB 9,69% (58)

6. Demokrat 7,77% (54)

7. PKS 8,21% (50)

8. PAN 6,84% (44)

9. PPP 4,52% (19)

10. Perindo 2,67%

11. Partai Berkarya 2,09%

Baca juga : Risiko Di Balik Tarik Ulur PSBB

12. Hanura 1,54%

13. Bulan Bintang 0,79%

14. Partai Garuda 0,5%

15. PKPI 0,22%

Karena ambang batas parlemen berdasarkan UU No 7 tahun 2017 adalah 4%, maka hanya 9 partai politik yang berhasil mendudukkan wakil-wakilnya di DPR RI. Perindo, Partai Berkarya, Hanura, PBB, Partai Garuda dan PKPI tersingkir.

Beberapa dari pimpinan ke 9 parpol yang duduk di DPR RI rupanya membuat konspirasi untuk mengurangi jumlah parpol di DPR dengan strategi meningkatkan ambang batas parlemen. Sembilan partai dianggap masih terlalu banyak, sehingga pembahasan permasalahan di DPR kerap bertele-tele dan agak sukar diambil consensus. Saat ini terdapat 3 (tiga) opsi mengenai wacana perubahan ambang batas parlemen.

Opsi pertama, naikkan 4% jadi 5%. Dengan catatan untuk DPRD propinsi 4%, DPRD Kabupaten 3%. Opsi kedua diusulkan oleh Partai Nasdem dan Golkar, naikkan 7% [siapa takut?!]. opsi ketiga, ambang batas parlemen tetap 4%, dianut oleh PPP, PAN dan PKS dengan catatan ambang batas untuk DPRD 0%, alias dihapus.

Yang unik, Partai Gerindra belum bersikap. “Kami ikut saja,” ucap salah satu petinggi Gerindra. Sikap ini mengandung makna, Gerindra mau tampil demokratis, tidak mau menggencet, apalagi menggorok leher partai-partai kecil. Namun, jika mayoritas parpol sepakat menaikkan ambang batas parlemen, “Kami siap!”. Garindra kini partai kedua terbesar dengan perolehan suara 12,57%, meskipun dari sudut perolehan kursi, Golkar lebih besar dari Gerindra, 85 banding 78 kursi.

Baca juga : Kontroversi Kasus Kivlan Zein

Akhir dari perdebatan di DPR RI tampaknya bakal sedikit kompromi, mengikuti usul PDIP, partai terbesar, yaitu naikkan ambang batas parlemen sedikit saja: dari 4% jadi 5%.

Jika ini keputusan terakhir, PPP bakal ketar ketir. Partai yang masih belum solid karena masih diamuk friksi internal bakal terpental dari Senayan.

Bagaimana seorang wakil rakyat dipilih? aturan di UUD1945 sangat singkat. Pasal 19 ayat (1) UUd 1945 menyatakan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”. Secara implisit, ketentuan ini mengatakan setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih dalam Pemilu. Namun, bagaimana cara memilih wakil rakyat, diatur dalam UU tentang Pemilu yang cukup jelimet. Kenapa bisa ke luar ketentuan ambang batas parlemen, hal itu juga diatur oleh DPR RI Bersama pemerintah. Kompromi dan tarik menarik kekuatan terjadi di sini. Karena UUD 1945 sudah menganut sistem demokrasi liberal, bukan system musyawarah mufakat, pada akhirnhya kekuatan voting yang menentukan. Pada akhirnya, parpol yang punya kursi paling banyak, peluangnya untuk menentukan suara dengan sendirinya paling besar, apalagi jika parpol besar itu bisa menggalang koalisi dengan 12 partai besar lainnya. Prinsip “Que sera, sera” dengan mudah memenangkan pertarungan di parlemen.

Yang lebih tidak adil, tidak demokratis, adalah ketentuan tentang ambang batas Presiden. Dilema politis memang terjadi dalam hal ini. Jika dibebaskan sepenuhnya, dalam arti siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai Presiden, negara kita bakal memiliki 10 sampai 20 calon Presiden. Terlalu banyak orang yang berambisi jadi Presiden di Indonesia!

Pasal 6 A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Selanjutnya, ayat (2) mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelak sanaan pemilihan umum.” UUD 1945 sama sekali tidak mengatur soal ambang batas presiden. Toh, pengaturan memang perlu, meski sepintas melanggar demokrasi. Lagi-lagi jika tidak ada pengaturan/pembatasan, pasangan calon presiden/calon wakil presiden bakal berjubel. Rakyat juga pusing memilih nya. Risiko “gontok-gontokan” di masyarakat tidak bisa dihin dari karena tingkat Pendidikan rakyat kita yang sebagian besar masih rendah. dan jangan lupa, “Politik sama dengan perang”, kata Sun Tzu, filsuf kuno Tiongkok. Perpolitik itu ganas dan sadis………!

Masalahnya, berapa ambang batas Presiden yang “layak” dan masih dalam kategori “demokratis” ? Berdasarkan UU No 7 Tahun 2017, ambang batas presiden 20%. Angka ini, jelas, TERLALU TINGGI, hanya untuk kepentingan partai-partai besar, sekaligus untuk menggorok partai-partai kecil. Dengan ambang batas 20%, calon Presiden/calon Wakil Presiden maksimal 3 saja. Azas demokrasi akan tercoreng. Yang diuntungkan hanya partai-partai besar, padahal calon dari partai besar belum tentu layak sebagai Presiden. Bukankah seringkah calon independent juga bagus dan diyakini kapabel untuk memimpin bangsa ini ? Mereka terkandas semata-mata karena tidak dapat dukungan dari partai atau gabungan partai-partai politik. Sebaliknya, calon dari partai besar jauh lebih mudah untuk lolos dalam pertarungan karena konspirasi pimpinan 23 parpol besar, meski sosok yang tampil jauh dibawah standard.

Saat ini di masyarakat sudah viral beberapa nama yang diunggulkan sebagai calon Presiden/Wakil Presiden dalam Pemilu 2024. Nama-nama ini sudah mulai “dipompa” secara sistematis. Sayangnya, nama-nama ini sesungguhnya kurang layak, alias tidak memenuhi “minimum standard”. Apa boleh buat. Itulah wajah demokrasi kita yang masih bopeng! ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.